Jumat, 30 November 2012

ADEGAN “JEJER” DALAM RINGGIT PURWO ( ETNOGRAFI )


Nurseto Bayu Aji
S1 – Etnomusikologi
11112102
Bayu.seto07@gmail.com
A.    Pendahuluan
Ringgit purwo adalah sebutan lain dari seni pertunjukan wayang kulit. Yakni adalah sebuah kesenian dari daerah jawa yang mementasan berbagai banyak tokoh-tokohnya yang di wakili oleh wayang kulit. Wayang kulit adalah sebuah kulit binatang yang diukir dan dibentuk menyerupai sosok manusia dengan kedua tangan jujutan (diperpanjangkan) yang dapat digerakan serta tubuh yang menghadap menyamping. Biasanya wayang ini terbuat dari kulit binatang sapi atau kerbau karena dinilai serat-serat di dalamnya lebih padat dan banyak membentuk sudut. Oleh karena itu kulit sapi dan kerbau dipilih karena sangat kuat untuk diukir dan di bentuk sesuai keinginan.
Secara visual wujud dari pertunjukan ini adalah dengan menggunakan sebuah layar besar yang dibentangkan menyamping kira-kira berukuran 8 m x 2 m yang disebut kelir. Kemudian dibagian bawah sebagai tempat menancapkan wayang adalah menggunakan debog atau pohon pisang yang di tata bertumpuk atas dan bawah. Pada bagian samping kiri dan kanan kelir ditancapi banyak wayang yang kemungkinan besar tidak digunakan dalam pertunjukan. Wayang-wayang ini disebut wayang simpingan. Pada bagian kanan adalah wayang kelompok pandawa dan para dewa. Hal ini menandakan bahwa sisi baik atau kebenaran ada di bagian kanan. Sisi lain sebelah kiri adalah wayang kelompok raksasa atau buto dan para kurawa. Hal ini menunjukan bahwa sisi jahat atau buruk adalah sisi sebelah kiri. Kemudian selain wayang simpingan tentu ada wayang-wayang pokok yang digunakan dalam pertunjukan. Biasanya wayang ini ditaruh di dalam kotak, di atas kotak dan di atas tutup kotak peyimpanan wayang yang terletak di depan kelir dan di samping kanan kiri seorang dalang. Selain itu untuk penerangannya menggunakan sebuah lampu yang digantung di depan layar dan tepat di atas kepala dalang yang disebut blencon.
 Tentu saja wayang kulit tersebut tidak bergerak sendiri karena sudah pasti adalah benda mati dan tak bernyawa. Wayang kulit di gerakan dan dimainkan karakter suara serta emosinya oleh seorang dalang. Biasanya seorang dalang ini adalah seseoarang yang mahir berbicara dengan bahasa jawa kawi[1] karena dalam pertunjukan ringgit purwo menggunakan cerita-cerita yang di ambil dari kitab atau serat mahabarata dan ramayana yang masih menggunakan bahasa jawa kawi dan jawa kuno. Serat mahabarata dan ramayana sebetulnya merupakan sebuah serat yang lahir dari agama hindu di india. Kedua serat ini memiliki masing-masing cerita yang berbeda. Serat mahabarata adalah sebuah kitab yang menceritakan tentang bagaimana cerita dari kehidupan 5 pandhawa dan 100 kurawa. Cerita ini di mulai dari pertama tokoh prabu arjuna sosrobahu sampai dengan cerita tentang parikesit. Yang kedua adalah serat ramayana, cerita yang terkandung di dalamnya jika di sinkronkan dengan cerita mahabarata cenderung lebih lama atau lebih dahulu dibanding mahabarata. Karena cerita didalam kitab ini intinya adalah menceritakan tentang bagaimana perselisihan antara prabu rama wijaya yaitu sang keturunan dewa wisnu melawan prabu rahwanadiraja. Kedua kitab ini cenderung dikatakan berkesinambungan atau sinkron karena sama-sama di dalamnya muncul tokoh yang sama yakni “anoman”. Anoman adalah sesosok kera yang berwarna putih dan berwujud setengah manusia serta dilengkapi dengan kesaktian yang tak terkalahkan.
Ringgit purwo dalam pementasannya memiliki beberapa runtutan sajian. Yang paling pertama dilakukan sebelum pementasan yakni sajian gending-gending klenengan seperti misal ladrang wilujeng dan yang lainnya, tujuannya adalah sebagai pengisi kekosongan suasana sebelum pementasan dan sebagai sarana menarik perhatian penonton supaya terfokus kepada pementasan ringgit purwo yang akan disajikan. Pada saat masih penyajian gending-gending klenengan ini, seorang dalang sudah duduk di tempatnya di depan kelir atau layar, namun masih menghadap kearah gamelan atau kebelakang pada umumnya. Setelah itu adalah sajian gending talu, disinilah awal dimulainya pertunjukan ringgit purwo karena lewat gending ini, seorang dalang mulai berbalik arah kedepan untuk menghadap ke arah layar pertunjukan. Selanjutnya adalah sajian ringgit purwo, disini awal dimulainya pertunjukan ini. Dalang mulai memegang wayang pertama yang masih ditancapkan pada landasan sebuah pohon pisang di bagian tengah-tengah layar. Setelah itu dimulailah adegan-adegan sesuai cerita yang disajikan. Pada umumnya adegan dalam pewayangan yang pakem ada beberapa urutannya, antara lain (1) bedhol kayon, (2) jejer, (3) kondhur kedathon, (4) limbukan, (5) klumpukan wadya bala, (6) budhalan, (7) perangan, (8) goro-goro, (9) inti cerita atau lakon, (10) perang gagal, (11) pitutur dan tancep kayon. Selain dari urutan pewayangan yang pakem tersebut, juga tidak jarang seorang dalang menambahkan adegan flashback atau mengulang cerita sebelumnya yang sinkron dengan cerita yang akan disajikan. Dari seluruh adegan-adegan tersebut, disini yang akan dibahas oleh penulis adalah tentang adegan jejer. Didalam adegan jejer ini sudah tentu terkandung beberapa unsur yang mendukung antara lain seni rupa, sastra, musik dan situasi sekitar. Maksud dari tulisan ini adalah untuk menjabarkan tentang adegan jejer dan unsur-unsur yang mendukung didalamnya.
B.    Adegan jejer dan tokoh wayangnya
Adegan jejer dalam ringgit purwo adalah satu sajian yang termasuk awal, karena adegan ini disajikan guna mengawali jalannya cerita. Adegan ini merupakan sebuah gambaran seorang raja yang sedang dihadapkan dengan para punggawa kerajaan dan para tamu agungnya. Paseban adalah kata yang cocok untuk mewakili gambaran situasi tersebut. Untuk runtutan masuk serta sikap wayang dalam adegan ini biasanya diawali dengan keluarnya tokoh parkan dari arah gawang bagian kiri dan di tancapkan di bagian tepi sisi kanan dengan posisi tangan ngapurancang. Kemudian keluar seorang raja dari gawang kanan dan langsung ditancapkan di bagian tapi kanan di depan parkan dengan sikap tangan sesuai sifat pokok raja tersebut. kemudian setelah itu keluar satupersatu punggawa kerajaan yang lain spseri patih, senopati dan para tamu agung dari gawang sebelah kiri dengan posisi tangan ada yang ngapurancang namun juga ada yang malangkerik. Adegan jejer ini biasanya dilakukan oleh hanya kerajaan besar dan raja yang tenar dalam cerita pewayangan, antara lain:
1.     Kedaton[2]Astina, Kedaton astina memiliki beberapa masa kepemimpinan raja antara lain ialah Prabu Pandu Dewanata, Prabu Destarastra, dan Prabu Duryudana. dalam situasi paseban agung yang dipimpin oleh Prabu Duryudhana, ia dihadap para punggawa astina yakni Patih Sengkuni, Pendeta Durna, Narpati Basu Karno, dan para saudara kurawanya. Namun tidak semua tokoh kurawa hadir disini, umumnya hanya satu yang hadir yakni Senopati Kartomarmo. Selain para punggawa dan saudara kurawanya, Prabu Duryudhana juga kedatangan satu tamu agung. Tamu agung tersebut pada umumnya adalah satu tokoh pihak pandawa yakni Prabu Baladewa atau jika tidak adalah satu tokoh dari knegeri tanah sabrang yakni kerajaan-kerajaan tempat para raksasa/buto. Dan terakhir tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan. Parkan adalah tokoh gambaran seorang selir atau seorang wanita sebagai pelayan raja.
2.     Kedaton Amarta, dalam adegan ini dipinpin oleh Prabu Puntadewa. Puntadewa ini adalah raja sekaligus kakak tertua para pandawa lima, maka yang hadir dalam paseban ini adalah para saudara pandawanya yakni Arjuna, Werkudara, Nakula dan Sadewa. Selain itu juga hadir tamu agungnya, biasanya adalah Prabu Kresna (dari kerajaan dwarawati) atau Prabu Baladewa. Kadang juga dalam jejer kedaton amarto ini hadir tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, sesuai kebutuhan cerita yang disajikan. Dan terakhir tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan.
3.     Kedaton Dwarawati, Prabu kresna sebagai raja dwarawati dan dihadapkan dengan para punggawa kerajaan. Patihnya adalah udowo dan anak dari Prabu Kresna adalah samba. Selain itu juga hadir tamu agung yang merupakan saudara kandung Prabu Kresna, ia adalah Baladewa. Kadang juga hadir tamu agung lain seperti Arjuna, Werkudara, Petruk atau tokoh pandawa dan punakawan yang lainnya. Selain itu hadir sosok senopati dwarawati yakni Raden Setyaki yang juga merupakan saudara kandung Prabu Kresna. Dan terakhir seperti biasa tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan.
4.     Kedaton Kahyangan Jonggrengengsaloka atau suralaya, dalam adegan jejer ini adalah paseban bagi para dewa-dewa. Seorang dewa pemimpin adalah bethara guru. Bethara guru adalah seorang dewa yang memiliki tunggangan seekor sapi dan ia juga dewa yang memiliki tangan banyak. Para seban (sebutan untuk yang mengikuti paseban) adalah para dewa-dewa menurut kebutuhan ceritanya. Dewa-dewa tersebut antara lain Bathara Narada, Bathara Indra, Bathara Yamadipati, Bathara Wisnu, Bathara Bayu, dan masih banyak yang lainnya. Selain itu kadang juga untuk tamu agung yang hadir beraneka ragam menurut jalannya ceritanya seperti misal Semar, Bathari Durga (tokoh jahat yang merupakan istri bathara guru), Arjuna, Bathara kala (anak dari Bathara Guru dan Bathari Durga) serta masih banyak yang lainnya.
Masih Banyak lagi adegan-adegan jejer yang belum terungkap oleh penulis, seperti misal adegan jejer kedaton Ayodya oleh Prabu Dasarata, Ngalengka oleh Prabu Rahwana, Mandura oleh Prabu Baladewa, Maespati oleh Prabu Partowirya, Maespati oleh Prabu Harjunasasra, Lokapala oleh Prabu Dhanapati, Magada oleh Prabu Citrasena, Binggala oleh Prabu Kusumaraja, dan masih banyak lagi adegan jejer yang belum terungkap oleh penulis seperti halnya adegan jejer pada kerajaan-kerajaan tanah sabrang (kerajaan buto), jejer pertapan oleh pendetanya serta jejer ksatrian oleh para satrianya.
C.    Musik dalam adegan jejer
            Adegan jejer selain identik dengan cerita serta tokoh-tokohnya juga terkandung beberapa unsur yang mendukung jalannya pertunjukan. Salah satunya adalah iringan musik oleh ensambel gamelan jawa. Instrument pada gamelan jawa  yang mendukung antara lain ialah kendang, gender, rebab, saron barung, demung, saron penerus, bonang barung, bonang penerus, gong, kempul, kenong, slenthem, ketuk, kempyang dan suling. Tentu setiap instrument tersebut memiliki bentuk, ciri serta kegunaan masing-masing. Dari semua instrument gamelan tersebut, yang paling banyak dan paling menonjol fungsi serta perannya adalah kendang dan gender. Gender memiliki peran yang sangat penting, karena disaat seluruh instrument musik pengiring berhenti dan diam, disinilah peran penting gender untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan cerita atau tokoh yang dimunculkan supaya lebih menonjol karakternya. Tak kalah penting fungsinya ialah instrument kendang. Kendang perannya disini adalah sebagai pamangku irama bagi teman-teman instrument gamelan yang lain. Selain itu peran kendang dalam pewayangan ialah sebagai penegas gerakan wayang dalam setiap polang tingkah wayang tersebut. Namun dalam adegan jejer ini peran kendang lebih mengacu hanya pada pamangku irama karena kebanyakan sajian musiknya menggunakan kendang ageng dan ketipung saja.
1.     Sajian gendhing jejer dalam pewayangan yang masih seperti mulanya
            Urutan sajian gending-gending dalam adegan jejer ini untuk pewayangan yang masih tradisi atau masih seperti mulanya adalah biasanya dimulai dengan dodogan dalang 5 kali pada kotak kemudian disambut dengan gending ayak-ayak pathet slendro manyuro kalajengaken ketawang gending kabor minggah ladrang karawitan. Saat disajikannya gending itu secara perlahan dalang mencabut kayon (wayang berbentuk gunung) dari tengah layar dan diletakan di samping sebelah kanan jika hanya satu kayon, kanan dan kiri jika dua kayon atau bahkan satu kayon disebelah kiri dan dua kayon disebelah kanan jika terdapat 3 kayon dari tengah. Setelah itu perlahan masuk para tokoh wayang yang diawali dengan parkan sampai dengan masuknya seorang senopati. Sembari satu persatu tokoh wayang ini masuk, iringan menjadi tipis dan dalang mulai menyenandungkan sebuah janturan tentang profil seorang tokoh yang sedang masuk dari gawang menuju tempat adegan. Setelah itu ketika hampir seluruh tokoh wayang hadir dalam adegan dan masuk senopati, biasanya iringan musik kembali menjadi klimaks dan berubah menjadi gending ladrang laras slendro nem. Setelah itu adalah obrolan para wayang yang hanya diiringi oleh gender menggunakan laras slendro nem. Ketika di tengah adegan biasanya ada seorang tamu dari kerajaan lain datang biasanya diiringi dengan gending sampak laras slendro nem. Setelah adegan jejer ini berakhir, ada satu adegan tambahan yakni kondur kedaton. Adegan ini masih satu rangkaian dengan jejer. Musik yang mengiringi dalam adegan ini menggunakan gending ketawang ataupun ladrang atau juga bisa dengan gending bedayan.
2.     Sajian gendhing jejer dalam pewayangan yang sudah berkembang
Sebetulnya urutan sajian bentuk gending dari iringan musik pewayangan yang berkembang intidak jauh berbeda dengan pada mulanya. Yang membedakan hanya sedikit, antara lain bentuk garapnya. Bentuk garap disini yang dimaksud adalah penambahan adegan sedikit pada bagian awal, yakni adegan flashback atau awal mula sebuah cerita pewayangan bermula. Biasanya adegan ini diwarnai dengan kerusuhan atau peperangan para dewa atau raksasa (buto). Tentu iringannya juga menyesuaikan dengan adegan tersebut. Maka dari sinilah bermunculan para komposer musik karawitan yang mulai membuat serta mengembangkan gending-gending untuk adegan ini.
Selain hal tersebut yang membedakan adalah penggunaan pilihan laras dan pathet lain pada setiap gending yang mengiringi adegan jejer. Terutama pada gending-gending ladrang. Gending-gending ladrang disini mulai menggunakan laras pelog denganh pathet nem, barang, maupun campuran. Dari hal tersebut, sekarang ini juga banyak bermunculan karya-karya baru gending ladrang untuk adegan jejer ini yang menggunakan laras pelog.
Untuk musik dalam adegan jejer ini dapat kita tarik satu garis lurus, bahwa musik dalam adegan jejer lebih menonjol dalam hal fungsi penegas. Maksudnya fungsi penegas adalah sebagai penegas suasana dan gerakan pada setiap tingkah laku wayang.
D.    Sastra dalam adegan jejer
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu[3]. Bagian dari sastra yang paling menonjol dalam pewayangan adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam pewayangan bukanlah bahasa harian, melainkan bahasa seni atau bahasa sastra. Bahasa yang digunakan dalam pewayangan ini sendiri dapat dikelompokan menjadi 4 yakni (1) Bahasa jawa kuno/kawi yang bercampur dengan bahasa sansekerta, (2) Bahasa jawa baru, (3) Bahasa jawa miring, (4) Bahasa campuran. Sedangkan jika dilihat dari kesastraan, bahasa pewayangan dapat dikelompokan menjadi 3 yakni (1) Bahasa Puisi (iketan), (2) Bahasa prosa berirama (lyris prosa), (3) Bahasa prosa (gancaran)[4]. Bahasa puisi jika dalam pewayangan dapat berwujud sebuah cakepan yakni sulukan, kombangan, celuk serta tembang. Sulukan sendiri dalam kesastraan juga menggunakan beberapa bahasa yakni bahasa kawi, kawi miring, jawa baru dan campuran. Pada umumnya bentuk bahasa pada pewayangan adalah sebuah bahasa prosa berirama yang masih menggunakan sifat-sifat dari tembang dan menggunakan hiasan tembung-tembung kawi, pepindan, paribasan, sanepa, saloka, purwakanthi basa, klimaks dan anti klimaks. Kedudukan bahasa dalam pewayangan ada 2 yakni:
1.     Basa crita (Bahasa cerita) adalah bahasa seorang dalang pada waktu menceritakan keadaan yang dipentaskan dalam pekeliran.
2.     Basa pocapan (Bahasa percakapan) adalah bahasa yang digunakan untuk percakapan para wayang. Bahasa percakapan ini banyak macamnya tergantung sifat dari tokoh wayang masing-masing. Macam dari bahasa ini ialah : ngoko, kawi, madya, krama, bagongan (kraton), dan kasar.

E.    Suasana Audiens
Penonton adalah makhluk hidup yang dapat melihat mendengar dan menikmati suatu pertunjukan seni atau yang lain. Jumlahnya tidak dibatasi, di mulai dari nominal 1 dan seterusnya tanpa batas. Dalam pertunjukan seni pewayangan biasanya jumlah penonton sangat banyak, terutama pada acara peringatan hari besar di sebuah desa. Terutama waktu masih awal-awal pertunjukan dimulai. Namun ketika sudah kira-kira pertunjukan berjalan selama kurang lebih 4 jam, satu persatu penonton sudah banyak yang jenuh dan mulai pulang. Namun waktu masih adegan jejer ini penonton masih banyak dan ini adegan ini merupakan titik fokus pertama bagi penonton karena merupakan awal bermunculannya tokoh-tokoh wayang. Sisi lainnya adalah penonton berisik dan bergemung sendiri pada waktu adegan jejer karena faktor bahasa yang kurang dikuasai oleh orang awam ini. jadi pesan-pesan yang sebetulnya penting yang terkandung dalam pocapan dalang tidak tersampaikan kepada penonton.

DOKUMEN FOTO
Gambar 1 : Adegan jejer Kedaton Astina
REFERENSI:
Marwanto, S.Kar, Apresiasi Wayang, Cendrawasih, Sukoharjo, 2001
Wojowasito, Kamus Jawa Kawi, Surakarta, 1977
Supadmi, S.Sn, Sindhenan Gendhing Iringan Pakeliran Wayang Kulit Purwa Gagarag Surakarta, Cendrawasih, Sukoharjo, 1988
Harghana, Bondan, Serat Ramayana, Cendrawasih, Sukoharjo, 1998




[1] Lihat Wojowasito dalam Kamus kawi – Indonesia, 1977
[2] Istilah lain dalam bahasa jawa untuk menyebut kerajaan
[3] Di unduh dari http://asemmanis.wordpress.com pada 25 November 2012 pukul 22:53
[4] Marwanto dalam Apresiasi wayang, 2001 : 7

PEMBUATAN GAMELAN – GONG AGENG ( ORGANOLOGI )


Nurseto Bayu Aji
11112102
S1 – Etnomusikologi
bayu.seto07@gmail.com
A.    Pendahuluan
          Gamelan adalah salah satu ansambel musik dari indonesia yang saat ini banyak menjadi bahan pembicaraan di kancah nasional maupun internasional, khusunya adalah gamelan jawa. Di dalam ansambel gamelan jawa terdapat 4 taksonomi alat musik menurut fungsinya yakni (1) ricikan garap yang terdiri dari Kendhang, gender barung, gender penerus, rebab, dan gambang, (2) ricikan balungan terdiri dari saron barung, saron penerus, demung, slenthem, bonang barung, dan bonang penerus (3) ricikan struktural terdiri dari kenong, kethuk-kempyang, kempul dan gong (4) ricikan paesan terdiri dari suling dan siter. Gamelan di dalam science memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai bahan penelitian, wacana dan pengkajian. Pengkajian pada gamelan ini banyak dilakukan oleh para mahasiswa dan etnomusikolog dunia. Salah satu dari focus kajiannya adalah dalam hal organologi, seperti salah satunya proses pembuatan dari pada gamelan. Di dalam tulisan ini akan sedikit dipaparkan bagaimana proses pembuatan salah satu ricikan struktural pada gamelan jawa yakni gong ageng. Gong ageng adalah alat musik berbentuk silinder dengan diameter sekitar 55 cm yang memiliki bagian menonjol pada tengahnya yang disebut plencon.
B.     Alat-alat yang digunakan dalam membuat gong ageng
Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan gong ageng adalah berbagai macam benda jenis palu. Disebutkan adalah palu tengah, palu pangarep, palu tepong, palu laga (untuk membuat sudut) , palu mendan, palu dedegan, palu julukan (untuk membuat plencon), palu kentengan (palu untuk pembatas), dan palu apit. Selain peralatan jenis palu ada juga peralatan lain seperti supit yakni alat yang berfungsi untuk mengambil bahan dari bara api atau barang panas lain selama proses penempaan. Ada juga cutat yang biasa di gunakan oleh seorang panji yang berfungsi untuk membantu tugas supit. Pada saat penempaan juga digunakan alat sebuah besi seng bertongkat dan juga kulit pohon pisang untuk menjaga kestabilan bara api saat penempaan.
C.    Proses Pembuatan Gong
            Pada umumnya bahan untuk membuat gong adalah dari besi, kuningan, perunggu bahkan yang baru-baru ini adalah dari alumunium. Dari bahan-bahan tersebut yang paling baik dinilai oleh masyarakat dan para seniman untuk dijadikan gamelan adalah yang terbuat dari bahan perunggu. Bronze is a metal alloy produced by blending copper and tin in various amounts, depending on the application (S.E. Smith)[1]. Seperti ungkapan smith tersebut, campuran bahan yang utama dalam pembuatan gong ageng dari perunggu adalah tembaga dan timah putih dengan perbandingan 10:3.
            Di dalam tempat pembutan gamelan atau disebut besalen langkah pertama yang dilakukan seorang panji/pande (seorang pembuat gamelan) adalah melebur bahan tembaga dan timah putih di dalam kowi. Kowi adalah bahan tanah liat dan arang sebagai media melebur bahan gamelan sekaligus juga sebagai campuran. Untuk pembuatan gong ageng biasanya menggunakan 20 kg tembaga dan 6 kg timah putih serta di campur dengan rongsokan alat musik bekas kurang lebih seberat 5 kg. Setelah bahan dasar gong di dalam kowi mencapai suhu didih tertentu kemudian di lakukan proses jujutan yakni proses untuk pengetesan bahan. Di dalm proses ini di ambil dua sampel bahan. Prosesnya adalah dengan salah satu sampel di tempa hingga tipis dan di lekukan dua kali. Setelah bahan sampel di lekukan kemudian disepuh ke dalam air. Proses yang satu ini bertujuan untuk mengetahui kadar keuletan bahan. Untuk sampel bahan yang lain di tempatkan pada onggokan debu dan di gosok dengan debu supaya mencapai suhu dingin. Setelah itu bagian sampel ini di pecah menjadi dua. Salah satu pecahannya di ambil untuk di lihat kadar kerapatan atau kasar halusnya. Jika ternyata hasilnya bahan menjadi kasar berarti kelebihan tembaga dan kurang timah putih. Dan jika bahan lebih halus itu berarti sebaliknya, kekurangan tembaga dan kelebihan timah putih.
Setelah proses jujutan kemudian bahan gong ageng di masukan kedalam penyingen yakni sebuah tempat besar untuk membakar gong dengan diameter kurang lebih 55 cm (sesuai ukuran gong ageng). Sebelum pencetakan terlebih dahulu penyingen di olesi dengan bahan malam yang bertujuan untuk membuat permukaan gong yang rata dan halus. Sambil bahan gong di panaskan juga di campurkan dengan sekam. Ini juga bertujuan untuk membuat permukaan gong yang rata dan halus. Setelah bahan gong mulai panas kemudian di lakukan proses penempaan. Proses penempaan ini merupakan proses inti dari pembuatan gong. Pertama yang dilakukan dalam proses ini adalah nyeset. Proses nyeset adalah merupakan proses penempaan pada bagian tepi laker untuk menebalkan bagian yang nanti menjadi lambe gong dan di lakukan berulang-ulang dalam laker yang tetap dalam keadaan panas, dalam waktu kurang lebih 30 samapi 40 detik dalam proses pengentasan dan pengapian. Proses ini dilakukan berulang-ulang karena secara keseluruhan ini merupakan proses pembentukan dasar gong. Setelah pola dasar gong terbentuk kemudian dilakukan penempaan pada bagian jari-jari dengan di bakar arang secara berulang-ulang.
Proses selanjutnya adalah menconi yaitu proses membuat plencon pada gong. Proses ini membutuhkan keahlian seorang pande untuk mengambil titik awal penempaan dengan menggunakan paron berlubang seukuran paron gong. Proses menconi juga dilakukan berulang-ulang hingga mencapai bentuk plencon yang di inginkan. Setelah itu dilakukan proses penempaan untuk meratakan bagian rai, rejb dan panggul. Setelah bahan perunggu mengalami proses-proses tersebut dan terbentuk menjadi gong ageng, dilakukanlah proses ngelem yakni proses penyepuhan atau perendaman gong di dalam bak air yang besar. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan gong dengan bahan yang kuat. Sebelum masuk proses finishing, gong ageng terlebih dahulu di tempa dengan kapak untuk membentuk garis tanda pembatas antara rai dan rejeb. Terakhir adalah proses finishing atau dalam istilah para pembuat gamelan disebut menak dengan cara di gosok sampai berubah warna menjadi mengkilap. Tahap terakhir  dilakukan  proses pelarasan untuk menentukan nada sesuai keinginan pemesan.



[1] www.wisegeek.com di unduh pada 2/10/2012 pukul 19:22 

MITOS SENTHANA DUWUR, DESA DAWUNG, KECAMATAN SAMBIREJO, KABUPATEN SRAGEN ( TRADISI ORAL )


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang masalah
Masing-masing daerah atau tempat tertentu pasti memiliki cerita atau sejarah masing-masing. Hal yang menjadi sorotan utama dalam sejarah atau cerita dari sebuah tempat adalah mitosnya. Mitos sendiri adalah cerita yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Di indonesia sendiri dari masing-masing daerah memiliki mitos masing-masing juga tentunya, dan di desa dawung wilayah kabupaten sragen ada sebuah mitos tentang senthana duwur. Mitos Senthana duwur adalah salah satu  mitos dari desa dawung kabupaten sragen yang belum banyak di kenal oleh masyarakat luas, atau bahkan masyarakat luar desa dawung sendiri banyak yang kurang mengenal  mitos tersebut. Maka dari itu penulis akan mengkaji dari mitos Senthana duwur kedalam sebuah bentuk tuulisan supaya lebih di kenal oleh masyarakat luas hingga mengetahui cerita yang sesungguhnya dari mitos Senthana duwur tersebut. Masyarakat luas maupun masyarakat sekitar banyak yang belum mengetahui kebenaran dari mitos ini. Banyak yang menganggap ini hanya cerita fiktif karangan para nenek moyang. Namun sesungguhnya mitos ini ada keterkaitan dengan kerajaan majapahit dan untuk mengetahui kebenaran bahwa cerita ini fiktif atau tidaknya penulis di sini akan memaparkan tentang (1) sejarah mitos, (2) upacara adat dalam kebudayaan masyarakat setempat yang meyakini terhadap tempat yang di mitoskan, serta (3) pengamatan penulis terhadap kebenaran mitos melalui penelitian dan pengumpulan data dari masyarakat setempat.




1.2  Rumusan masalah
Dari latar belakang demikian penulis dapat menggali dan merumuskan beberapa permasalahan dari mitos senthana duwur seperti yang terdapat dalam latar belakang yakni :
1.2.1       Bagaimana sejarah dan bentuk dari mitos senthana duwur ?
1.2.2       Adakah upacara adat atau ritual dari mitos senthana duwur dan bagaimana prosesinya?
1.2.3       Bagaimana masyarakat setempat menyikapi mitos ini

1.3  Tujuan Penulisan dan penelitian
Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap mitos senthana duwur berdasar data pengamatan langsung dan wawancara dari orang yang ahli atau benar-benar mengetahui tentang senthana duwur. Sehingga mendapat data yang dapat di rangkai dan di tuangkan seperti tujuan utama penulisan yaitu sebagai pemenuhan tugas akhir semester II studi S1-Etnomusikologi dalam mata kuliah tradisi oral. Selain itu tujuan lain dari penulisan ini adalah:
1.3.1       Mengetahui sejarah asal mula dari mitos senthana duwur sebenarnya.
1.3.2       Memperkenalkan keberadaan mitos senthana duwur kepada masyarakat luas.
1.3.3       Memberikan apresiasi tentang cerita mitos melalui penelitian dengan pemahaman tradisi oral (lisan) yang di tuangkan kedalam tulisan berbentuk artikel kepada pembaca

1.4  Metode Penelitian
Metode penelitian yang di gunakan dalam penelitian dan penulisan ini adalah metode yang memiliki sifat yang sesuai dengan sifat penelitian dalam tulisan ini. Yakni metode wawancara dengan mengumpulkan data kontekstual dari masyarakat setempat yang lebih tahu tentang seluk-buluk dari objek penelitian. Untuk mendapat hasil yang maksimal sesuai tema dan masalah yang akan di bahas, dalam artikel ini penulis menggunakan pendekatan fungsionalisme. Pendekatan fungsionalisme secara ontologis  melihat  kebudayaan sebagai sebuah kesatuan (dari bagian-bagian/ unsur-unsur) yang terintegrasi.

1.5  Mekanisme Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1    Latar belakang masalah
1.2    Rumusan masalah
1.3    Tujuan penulisan
1.4    Metode penelitian
1.5    Mekanisme penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1.  Awal terbentuk serta wujud mitos senthana duwur
2.2.  Data analisis dari hasil wawancara kepada Sunarto
2.3.  Data analisis dari hasil wawancara kepada Atmo Ngadiyo
2.4.  Data analisis dari hasil wawancara kepada Marto Paimin.
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Awal terbentuk serta wujud mitos senthana duwur
Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib (kamus besar bahasa indonesia). Di indonesia hampir setiap daerah memiliki mitos tersendiri. Bahkan setiap dukuh atau desa satu dengan yang lain memiliki cerita mitos yang berbeda walaupun mungkin intisari ceritanya sama namun tetap berbeda dengan versi tersendiri dari tiap-tiap tempat yang berbeda. Seperti misal dari mitos senthana duwur yang akan di ungkap dalam artikel ini. Senthana duwur adalah sebuah tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat desa dawung. Tempat ini adalah berbentuk kumpulan beberapa pohon besar yang kini tinggal satu dan dua makam. Awal mula dari tempat ini ada beberapa macam namun untuk sementara sebagai hipotesis peneliti menggunakan data berikut menurut seorang juru kunci dari senthana duwur. Konon menurutnya sejarah tempat ini adalah bekas dari persinggahan brawijaya yang sedang melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci di saudi arabia. Namun belum sepenuhnya data tersebut benar karena di dapat juga data yang berbeda dari masyarakat desa dawung yang lain. Peneliti mengalami kesusahan untuk menentukan data yang benar-benar dapat di percaya karena dari hasil penelitian di lapangan dengan metode wawancara terhadap masyarakat sekitar telah di dapat tiga data yang berbeda dan belum bisa di pastikan semua. Ketiga data tersebut di dapatkan dari Sunarto yakni salah seorang ulama di desa dawung, kedua dari Atmo Ngadiyo yakni seorang petani yang memiliki ladang di sekitar senthana duwur dan terakhir tentu di dapat dari Marto Paimin adalah seorang juru kunci dari senthana duwur.




2.2 Data analisis dari hasil wawancara kepada Sunarto
Data pertama di dapatkan penulis dari Sunarto yakni salah seorang ulama di desa Dawung. Ia memaparkan tentang mitos senthana duwur yang di lihat dari paradigma kekinian yakni ia menjelaskan bahwa dari bentuk tempat yang terdiri dari pohon besar dan dua makam ini nama aslinya adalah Eyang Singo Rotan. Eyang singo rotan adalah seorang pertapa yang dulu pernah bertapa di hutan atau alas sentana tepatnya di bawah pohon besar yang aneh tersebut. Konon menurut masyarakat setempat eyang singo rotan bertapa di tempat itu kira-kira ratusan tahun yang lalu. Maksud dan tujuan ia bertapa di situ adalah untuk mencari ketenangan hidup dan anugerah atau wahyu dari para dewa karena saat itu keluarganya sedang tertimpa musibah, istri anak dan cucunya semua terkena penyakit yang aneh, susah mencari nafkah dan kelaparan. Akhirnya Eyang Singo Rotan memutuskan untuk bertapa di alas sentana. Namun di tengah-tengah pertapanya ia hilang secara aneh tanpa sebab yang pasti tepatnya pada hari jum’at legi.  Maka dari itu ,samapai sekarang setiap hari jum’at legi masyarakat setempat mengadakan upacara ritual untuk mengenang eyang singo rotan. Masyarakat setempat mempercayai jika mengadakan upacara sesaji tersebut maka mereka akan mendapatkan berkah dan kesuburan bagi pertanian mereka karena dahulu masyarakat setempat sebagian besar bermata pencaharian dengan bercocok tanam.
            Masyarakat menyebut upacara sesaji tersebut dengan nama “nyadran”. Prosesi dalam upacara sesaji di tempat itu pada umumnya sama dengan upcara sesaji di tempat-tempat dan daerah yang lain. Dalam garis besarnya tidak ada yang berbeda dengan yang lain. Yakni terdiri dari prosesi peribadatan dengan menggunakan sesaji yang terdiri dari nasi tumpeng atau nasi gurih, ingkung yakni ayam utuh yang di panggang, sayur sambel goreng, dan krupuk merah. Selain itu juga kadang menggunakan jenang tujuh warna (Bubur kental) dan kembang setaman (sesjenis bunga racikan). Juga tidak ketinggalan yang paling penting di gunakan adalah kemenyan atau dupa. Prosesi di lakukan tepat di sebelah makam di bawah pohon. Waktu pelaksanaan ada dua versi berbeda, versi lama dari masyarakat tertua adalah di lakukan pada sore hari setelah matahari tenggelam sedangkan untuk generasi yang lebih muda melaksanakan di waktu pagi hari sekitar jam 06.00 WIB. Prosesi upacara biasa di pimpin oleh seorang tetua desa yang disebut dengan modin[1].

“...memang seperti itu prosesi nyadran di senthana duwur le. Dulu masyarakat setempat sangat percaya dan meyakini untuk panggonan angker (yang di maksud tempat senthana duwur) disana. Mulo masyarakat itu masih mengadakan acara nyadran. Tapi kalau sekarang kayaknya sudah gak ada yang melakukan acara itu le. Alhamdulillah karena keyakinan masyarakat yang makin hilang kepada mbah Singo Rotan dan sudah banyak sekali masyarakat yang sudah mulai sadar melakukan sholat lima waktu... “ (wawancara kepada Sunarto di kediamannya di desa dawung pada 26 April 2012 pukul 09.43)

Dari hasil wawancara terhadap narasumber di atas, narasumber menggunakan bahasa campuran dari bahasa indonesia dan bahasa jawa. Namun disini akan diterangkan mengenai isi dari hasil wawancara tersebut. Menurut narasumber, ia menyatakan bahwa senthana duwur adalah tempat yang angker dan dulu disana masih sering diadakan upacara adat yang disebut nyadran. Namun sekarang sudah tidak pernah dilakukan karena sudah banyak masyarakat desa dawung yang menjalankan sholat lima waktu.
Menurut Sunarto yang menyatakan bahwa upacara sesaji di makam senthana duwur sudah jarang dilakukan karena sudah banyak masyarakat yang sudah sadar akan agama islam memang benar. Karena dari hasil pengamatan peneliti, sekarang di desa dawung sudah berdiri sebuah pondok pesantren Baitul Qur’an yang sangat berperan karena dapat menyebarkan wabah bernuansa islami kepada masyarakat desa dawung. Bahkan hingga sekarang dampak dari pondok pesantren Baitul Qur’an telah mencetak hafidz dan hafidzah di desa dawung dengan harapan akan menjadi ulama yang besar untuk masyarakat desa dawung ataupun bangsa indonesia.

2.3 Data analisis dari hasil wawancara kepada Atmo Ngadiyo
            Dalam pengumpulan data kedua ini memang peneliti tidak melakukan wawancara secara langsung. Data yang diperoleh adalah berdasar keterangan narasumber yang tidak sengaja diperoleh oleh peneliti pada saat melakukan pengamatan secara langsung. Dan data kedua yang didapat oleh peneliti dari narasumber kedua yakni Atmo Diyono kurang lebih hampir sama dengan data yang diperoleh dari narasumber pertama Sunarto. Namun ada sedikit perbedaan yakni dalam hal penyebutan nama dari makam pada senthana duwur. Sunarto menyebutkan bahwa nama dari makam di senthana duwur adalah Eyang Singo Rotan namun oleh Atmo Diyono menyebutkan nama dari makam itu adalah Eyang Singgo Ruto dan Eyang Singgo Riti. Mereka adalah dua pertapa kembar yang mencoba untuk mencari wahyu untuk kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga mereka yang sedang tertimpa musibah. Anak serta istri dan semua anggota keluarga mereka terkena penyakit yang aneh dan susah di sembuhkan, susah mencari nafkah dan bahkan untuk sekedar makan sehari-hari pun susah.
Prosesi kebudayaan setempat yang di lakukan untuk menghormati senthana duwur yang di anggap sakral adalah upacara guwak-guwak. Upacara ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan hajatan dan di lakukan sehari sebelum acara berlangsung. Dalam prosesi ini biasa dipimpin oleh seorang ulama desa yang dikenal sebagai modin. Sebenarnya prosesi ini tidak hanya di lakukan oleh masyarakat setempat terhadap makam senthana duwur namun juga dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat[2] oleh masyarakat setempat. Dalam upacara adat guwak-guwak ini, masyarakat menggunakan sesaji yang terdiri dari bunga 7 warna, kemenyan, jajan pasar serta uang kecil[3]. Upacara ini menurut analisis peneliti adalah sebuah acara yang dapat menyatukan masyarakat menjadi satu kesatuan. Dilihat dari prosesinya upacara ini justru banyak diikuti oleh anak-anak kecil. Hal ini dinilai adalah sebagai wujud para orangtua untuk menanamkan rasa kebersamaan kepada anak-anaknya. Walaupun anak-anak ini tertarik dalam prosesi upacara guwak-guwak karena ada pembagian uang kecil ini namun hal demikian tidak menjadi masalah bagi para orangtua yang mengawasi mereka. Karena bagi para orangtua di desa dawung yang terpenting untuk anak mereka adalah menanamkan rasa kebersamaan. Sehingga dapat tercipta kelompok masyarakat yang bersatu dan ayem tentrem[4] dimasa mendatang.

2.4 Data analisis dari hasil wawancara kepada Marto Paimin
            Marto paimin memang berbeda dengan narasumber yang lain. Ia adalah seorang juru kunci dari senthana duwur. Namun disinilah kesulitan terbesar peneliti terjadi saat melakukan pengumpulan data berdasar narasumber ini karena usianya yang sudah sangat lanjut yakni sekitar 80-an. Maka hanya sedikit informasi valid yang didapat dari narasumber dan banyak yang diragukan, padahal narasumber adalah seorang juru kunci yang dinilai paling tahu tentang mitos dari senthana duwur.
            Manurut Marto Paimin senthana duwur adalah sebuah tempat keramat petilasan dari persinggahan Brawijaya dari Majapahit. Di sana terdapat banyak pohon besar dengan jenis sempu dan dua makam yang dikeramatkan. Menurut ia sehubungan dengan wujudnya, tempat ini memiliki sejarah yang berhubungan langsung dengan kerajaan majapahit. Konon pada zaman dahulu Brawijaya sedang melakukan perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Tiba ditengah perjalanannya, Brawijaya beristirahat disebuah tempat. Ditempat itu Brawijaya menancapkan tongkatnya di tanah dan munculah satu gundukan tanah yang di yakini masyarakat kini sebagai makam keramat. Sedangkan makam yang satu lagi muncul akibat dari sisa putung rokok dari Brawijaya yang dibuang olehnya sehingga membekas sebagai gundukan tanah yang kini juga di yakini masyarakat sebagai makam keramat. Untuk prosesi dalam menghormati tempat keramat senthana duwur menurut narasumber Marto Paimin sama persis seperti yang di terangkan oleh Atmo Ngadiyo, yakni dengan prosesi sesaji guwak-guwak.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kesimpulan dari hasil analisis oleh peneliti adalah senthana duwur memang menurut masyrakat sekitar memiliki beberapa sejarah dan asal mula yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya dari data hasil wawancara terhadap ketiga narasumber Sunarto, Atmo Diyono dan Marto Paimin dinilai bahwa data dari Marto Paimin lah yang menurut Peneliti paling mendekati kebenaran dari sejarah senthana duwur. Dikarenakan ia adalah seorang juru kunci sekaligus tetua dalam masyarakat desa dawung. Namun karena faktor usia yang sudah lanjut maka di pastikan banyak data yang sebenarnya penting atau perplu untuk dicantumkan namun hilang karena narasumber yang sudah memasuki usia lanjut sehingga menjadikannya lupa terhadap informasi-informasi yang terpenting dari mitos senthana duwur yang sebenarnya. Sebenarnyapun sebuah mitos tidak kmungkin dibuktikan kebenarannya. Hanya dapat dipastikan cerita-cerita yang paling mendekati sesuai bentuk tempat ataupun menurut narasumber yang paling tahu dari tempat tersebut.
Kesimpulan dari asal-usul senthana duwur secara garis besar adalah bermula dari majapahit. Yakni tempat persinggahan Brawijaya saat melakukan perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji. Prosesi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk menghormati tempat tersebut pada setiap tahunnya disebut nyadran dan pada setiap ada orang hajatan juga dilakukan prosesi upacara adat guwak-guwak. Namun untuk masa sekarang acara ritual tersebut sangat jarang sekali bahkan tidak pernah dilakukan lagi menginggat sudah banyak ulama yang muncul di desa dawung. Bahkan sekarangpun sudah berdiri sebuah pondok pesantren Baitul Qur’an yang memberi dampak yang besar bagi masyarakat desa dawung. Dampak yang dimaksud bukan dalam esensi negatif namun dampak tersebut adalah dapat menjadikan masyarakat desa dawung menjadi taat beribadah dan semakin bertaqwa kepada Allah SWT. Secara garis besar demikian hasil pengumpulan data oleh peneliti. Mengingat juga peneliti mendapatkan tiga data yang berbeda.

Mungkin tulisan ini dinilai belum memenuhi untuk dibaca dan sebagai wacana pe pengetahuan dikarenakan minimnya pengetahuan oleh penulis atau peneliti. Maka penulis mengharap sekali jika ada masukan atau kritik dari pembaca terhadap tulisan ini. Tentu banyak kata ataupun kalimat yang salah  ataupun mungkin menyninggung dihati pembaca, penulis meminta maaf sebesar-besarnya. Harapan terakhir semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan khalayak umum.
LAMPIRAN
IMG0087A.jpg
Gambar 1: Bentuk dari pohon besar (pohon sempu) di senthana duwur (Foto Nurseto Bayu Aji pada ‎10 ‎Juni ‎2012, ‏‎11:40)

IMG0083B.jpg
Gambar 2: Dua Makam di senthana duwur yang kini sudah tidak terawat (Foto Nurseto Bayu Aji pada ‎10 ‎Juni ‎2012, ‏‎11:40)







DAFTAR PUSTAKA
Kamus besar bahasa Indonesia
Sunarto (39) Seniman pedalangan, Dk Garuut Rt 004, Ds Dawung, Kec. Sambirejo, Kab. Sragen
Atmo Ngadiyo (60) Petani, Dk Garuut Rt 004, Ds Dawung, Kec. Sambirejo, Kab. Sragen
Marto Paimin (80) Juru Kunci senthana duwur, Dk Garuut Rt 002, Ds Dawung, Kec. Sambirejo, Kab. Sragen



[1] Modin adalah penyebutan oleh orang jawa kepada ulama atau ustadz yang terkemuka di kampung atau desanya. Seperti dahulu masih zaman kerajaan demak masyarakat jawa sering menyebut Kanjeng Sunan Kalijaga dengan sebutan modin. Sunan Kalijaga lebih di kenal dengan sebutan modin karena dahulu masih sangat asing bagi masyarakat jawa untuk menyebut ustadz.
[2] Keramat disini yang di maksud adalah sebuah tempat yang suci dan bertuah yg dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada masyarakat atau orang yang percaya.

[3] Uang kecil maksudnya adalah uang rupiah yang memiliki nilai nominalnya kecil. Biasa digunakan oleh anak kecil untuk membeli sesuatu.
[4] Ayem tentrem adalah bahasa jawa yang berarti hidup damai dan tenang Biasa digunakan para pemuka desa atau orangtua untuk memberikan nasehat terhadap kawula muda dan cucu-cucunya.

KEBERADAAN KENDANG INDUNG DAN KULANTER DI SRAGEN


Oleh :
Nurseto Bayu Aji
                                                                  Etnomusikologi 2011       

Sudah sangat terkenal sekali kalau suku sunda memiliki alat musik yang beragam dengan cengkok dan irama yang benar-benar khas sesuai kebudayaan mereka. Salah satunya adalah alat musik atau waditra kendang yang terdiri dari indung (kendang besar) dan kulanter (kendang kecil), yakni alat musik berbentuk tabung yang terbuat dari kayu ( kayu nangka pada umumnya ) dengan tutup tabung terbuat dari kulit binatang ( sapi, kerbau, kambing ). Di jawa barat sebagai tempat asal suku sunda, alat musik ini biasa di gunakan dalam kelompok karawitan seperti kliningan, degung, iringan wayang, ketuk tilu, penca silat, bajidoran, dan sebagainya. Namun kendhang sunda ini ternyata tidak susuah di temukan di jawa khususnya jawa tengah yakni di wilayah sragen. Bahkan alat musik ini sekarang sangat lekat dengan musik karawitan di sragen. Masuknya kendang sunda dalam karawitan gaya sragen berdampak memberi warna musikal yang baru dalam karawitan gaya sragen yang sekarang sering di gunakan sebagai pengisi acara hiburan dalam acara adat pernikahan ataupun dalam hajatan masyarakat jawa yang lain. Lantas apakah kendhang ini sekarang bisa di katakan sebagai milik masyarakat sragen? Dan bagaimana masyarakat sunda menanggapi hal yang demikian.
Kendang indung dan kulanter sekarang sangat melekat dengan karawitan gaya sragen. Hal demikian terjadi karena tidak sedikit orang sunda yang berdatangan ke kabupaten sragen atau sebaliknya masyarakat sragen sendiri yang merantau di tanah sunda dan sudah pulang ke tanah asal, maka secara tidak langsung mereka memperkenalkan dan bercerita tentang kendang sunda kepada kerabat yang lain. Karakteristik masyarakat sragen adalah santun (menurut paparan bappeda sragen dalam bappeda.sragenkab.go.id) maka mereka dapat dengan mudah menerima masukan dan cerita dari yang lain tentang kendang tersebut, dengan hal demikian secara inisiatif masyarakat sragen berfikir untuk memasukan alat musik tersebut kedalam karawitan gaya sragen yang sudah ada dengan kendang jawa sehingga di ganti dengan kendang indung dan kulanter yang memiliki karakteristik sama dengan karawitan gaya sragen yakni rampak, senang dan atraktif. Sehingga secara tidak sadar masyarakat sragen kini lupa akan asal kendang indung dan kulanter sebenarnya karena sudah sangat melekat sekali antara alat musik ini dengan musik yang sedang berkembang di sragen. Tapi mari kita coba berfikir kembali. Seperti yang sudah penulis rumuskan di atas, jika kendang ini telah bermigrasi ke kabupaten sragen dan berassimilasi dengan musik karawitan yang berkembang di sana, maka apakah kendang ini bisa di katakan juga milik karawitan gaya sragen?.
Kendang indung dan kulanter dalam musik sragenan di mata si pelaku
Menurut Joko Wahyudi seorang pelaku seni karawitan gaya sragen, ia berpendapat tenetang kendang indung dan kulanter.
“kendang indung dan kulanter ini kalau di sragen sangat berpengaruh terhadap cengkok dan gaya musikal karawitan kami, maka ya seperti ini lah sragenan ( kebiasaan penyebutan karawitan gaya sragen) sangat identik dengan kendang ini dan sudah sangat menyatu sekali”.(wawancara pada 6 Juni 2012)
Tapi ketika ia di tanya “apakah anda sebagai seniman sragen mengakui kendang indung dan kulanter sebagai alat musik asal kota anda?”
“ya kalau saya sendiri sebagai seniman yang juga mahaiswa Etnomusikologi di ISI solo berpendapat bahwa kendang ini bukan milik karawitan sragen. Namun kalau masyarakat awam di sragen yang belum tahu tentang asal-usul kendang ini pasti mengira asal-usulnya dari solo ataupun dari sragen sendiri, karena di sragen kurang begitu populer isitilah indung dan kulanter ataupun kendang sunda dalam penyebutan alat musik ini dan hanya di kenal dengan sebutan kendang jaipong”.(wawancara pada 6 Juni 2012)

Menurut Joko wahyudi tersebut tentang kepemilikan kendang memang tidak salah karena faktor utama yang menyebabkan masyarakat awam mengira kendang indung dan kulanter berasal dari sragen sendiri adalah kurang begitu di kenalnya sebutan indung dan kulanter atau kendang sunda. Kalau saja istilah kendang sunda populer di sragen pasti masyarakat di sana akan lebih mudah mengenal asal-usul dari kendang ini yaitu dari sunda karena sudah sangat terwakili dalam istilah kendang sunda tersebut. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Maka ini akan menjadi tugas para etnomusikolog yang melakukan penelitian di daerah sragen untuk lebih mengenalkan asal-usul dari kendang indung dan kulanter ini. Karena tugas utama etnomusikolog adalah memperoleh pengertian, sejarah asal-usul, perkembangan, dan persebaran musik pada berbagai bangsa di dunia (kamus besar bahasa indonesia offline). Istilah penyebutan yang populer dari kendang ini di sragen adalah kendang jaipong. Padahal jaipong sendiri adalah salah satu kesenian dari sunda, yang bukan termasuk seni tradisi melainkan seni kontemporer atau kreasi baru yang berkembang. Definisi jaipong sendiri seperti yang di kutip dalam forum.kompas.com adalah:
Jaipongan adalah sebuah genre kesenian yang lahir dari kreativitas seorang seniman Bandung, yakni Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu membuat seorang Gugum Gumbira mengetahui dan mengenal betul perbendaharaan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kiliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, Pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak minced dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. (forum.kompas.com di unduh pada 7 Juni 2012).
Memang benar seperti seni jaipongan sudah sangat di kenal di karisidenan surakarta termasuk sragen sejak tahun 1988. Seperti yang di paparkan oleh Sardini sebagai penari jaipong asal sragen. “...ya benar mas, sejak tahun 1992 saya bersekolah di SMKI Solo, tari jaipong sudah marak dan terkenal di daerah solo raya...”(wawancara 9 Juni 2012). Nah dari sini dapat sedikit di simpulkan bahwa terkenalnya kendang indung dan kulanter di karisidenan surakarta tak luput dari peran penting kesenian tari jaipong.
Kendang indung dan kulanter dalam karawitan gaya sragen masuk kedalam bentuk musik campursari. Maka musik karawitan di sragen dapat di katakan berkembang. Karena karawitan di sragen dapat di klasifikasikan menjadi 3 jenis yakni karawitan tradisi, karawitan sragenan, dan campursari gaya sragen. Namun yang akan di bahas di sini hanya karawitan sragenan dan campursari gaya sragen. Karena hanya kedua genre tersebut di sragen yang menggunakan kendang indung dan kulanter.
Kendang indung dan kulanter dalam karawitan sragenan
Karawitan sragenan adalah sebuah ensambel kaarawitan yang menggunakan gamelan ageng (sama seperti karawitan gaya surakarta). Namun dalam hal garap dan cengkok (irama lagu) sedikit berbeda dari karawitan tradisi. Pada umumnya karawitan sragenan tidak mengutamakan garap dan cengkok dari wilayah garap (ngajeng) dalam ricikan gamelan jawa yakni rebab, gender, siter, gambang dan suling (menurut klasifikasi KRT Mloyo widodo) atau bahkan juga vokal sindenan tradisi. Yang di tonjolkan dari karawitan sragenan adalah justru wilayah Balungan (saron barung, demung, bonang, saron penerus, slentem) dan kendang dari gamelan jawa. Mengapa demikian, hal ini terjadi karena gending-gending atau lagu yang di sajikan oleh karawitan sragenan adalah lagu-lagu yang memiliki karakteristik rampak, senang dan atraktif terutama menonjol pada jenis wilayah balungan sebagai melodi utama hampir dalam setiap lagu sragenan. Dan karena fenomena maraknya musik campursari sekitar awal tahun 2000 oleh Manthos (pelopor musik campursari) yang juga beriringan dengan perkembangan seni jaipong, ternyata kedua fenomena ini sangat berpengaruh terhadap musik karawitan di sragen. Terlihat dari seni karawitan di sragen mulai di masuki dengan unsur-unsur musik barat seperti keyboard, bass (awal 2000) serta kendang indung dan kulanter yang mulai diperkosa dalam hal cengkok oleh para pelaku seni di sragen. Seperti cengkok yang sangat populer adalah cengkok-cengkok dalam sekaran kendang ini. Biasanya banyak sekaran dari kendang wayangan atau bahkan dari kendang reog atau kesenian tradisi lain yang di adopsi kedalam kendang indung dan kulanter sesuai bunyi dan gaya nya yang tidak banyak di rubah.
Dalam hal cengkok masyrakat sragen mealukukan sedikit pemahan yang salah tentang tabuhan yang sesungguhnya dari kendang ini. Dalam tabuhan kendang ini sesungguhnya tidak ada bunyi dlang tetapi yang ada adalah bunyi mberebang. Sehingga banyak pendapat dari masyarakat tentang fenomena ini dan semua tentu berbeda. Ada yang mengatakan hal ini salah karena menyalahi tradisi awal tabuhan yang pokok dari asal daerahnya (ini kesimpulan penulis menurut beberapa orang pelaku atau ahli dalam kendang sunda). Namun ada juga yang mengatakan hal ini tidaklah perlu di jadikan masalah karena justru dengan adanya pola tabuhan baru ini, justru akan menambah kekayaan dari pola kendang indung dan kulanter. Dan juga hal seperti demikian akan membedakan mana musik sunda dan mana musik khas sragenan (hasil analisis penulis dari wawancara Joko Wahyudi pelaku karawitan sragenan). Maka dari kedua pendapat berbeda di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa sah bila masyarakat sragen melakukan perubahan terhadap pola tabuhan kendang indung dan kulanter.  Namun hal ini lazim di lakukan bila dimainkan di daerah asal dan masyarakat sragen tidak mengaku kepemilikan kendang ini. Dan tidak boleh masyarakat sragen atau siapapun memainkan kendang indung dan kulanter di jawa barat sebagai tempat asalnya menggunakan pola sragenan. Kenapa hal demikian tidak diperbolehkan? Sebenarnya bukan berarti tidak boleh sama sekali namun mungkin untuk acara festival seni atau kreasi muaik baru boleh. Yang tidak boleh yakni misal bila di gunakan dalam hiburan atau pesta rakyat yang menggunakan sseni tradisi. Karena tidak sedikit tentu masyrakat jawa barat yang akan tidak suka dan marah melihat alat musik asal daerahnya di mainkan dengan pola dan gaya yang tidak sesuai oleh masyarakat yang buka asal daerah si alat musik.
Kendang indung dan kulanter dalam campursari gaya sragen
Musik campursari memang bukan musik asli daerah sragen. Genre musik ini adalah hasil dari percampuran musik bernada pentatonik (gamelan jawa) dan musik bernada diatonic dari art barat. Pada umumnya ensembel musik campursari ini terdiri dari alat musik saron barung, demung, gender, siter, kendang jawa, kendang sunda, kendang india, drum, bas, gitar, keyboard, cak, dan cuk. Dari susunan alat musik tersebut maka musik campursari memiliki karakteristik senang dan rampak. Namun seiring berkembangnya jaman, alat musik di dalam campursari berkembang dengan masuknya biola, saxophone, trompet, trombone dan jenis alat orkestra lainnya. Dengan masuknya alat musik tersebut secara otomatis akan mempengaruhi karakteristik dalam musik campursari. Karena dengan masuknya biola akan memberikan kesan yang lebih lembut dan romantis. Saxophone dan alat tiup lainnya memberikan nuansa lebih semangat dan tegas.
Walaupun masuknya alat-alat musik tersebut yang memberikan nuansa baru dalam musik campursari namun ciri khas kendang indung dan kulanter tidak hilang dan masih tetap menonjol dalam musik campursari. Seperti musik campursari dari grup ‘tri tunggal’ dari colomadu yang membawakan genre campursari sragenan. Grup campursari yang dipimpin oleh Agus jolodhong ini sedikit berbeda dengan campursari sragenan lainnya karena walaupun musiknya sudah terkontaminasi dengan masuknya biola dan saxophone tapi peran kendang indung dan kulanter masih menjadi tokoh utama dalam grup ‘tti tunggal’.
Kesimpulan
Dari berbagai pemaparan tentang kendang indung dan kulanter di wlayah sragen yang telah di bahas tersebut, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yakni (1) Kendang indung dan kulanter mulai di kenal dan masuk dalam musik sragenan sejak mulai di kenalnya kesenian tari jaipong, (2) pengakuan masyarakat awam di sragen tentang kepemilikan kendang indung dan kulanter di karenakan bertambahnya tahun yang mengakibatkan semakin di lupakan bagaimana asal-usul kendang indung dan kulanter sebenarnya dan kurang di kenalnya istilah kendang sunda dalam kehidupan masyarakat sragen, dan (3) kendang indung dan kulanter sangat berkembang di sragen dalam jenis musik karawitan dan campursari.