Selasa, 29 Oktober 2013

GAMELAN BARONG – BANYUWANGI

GAMELAN BARONG – BANYUWANGI
Oleh : Nurseto Bayu Aji
Gamelan pangkon adalah kata yang tidak asing lagi bagi masyarakat di pulau jawa. Ensambel gamelan ini biasanya terdiri dari instrumen-instrumen gamelan yang dimainkan dengan cara duduk bersila. Para pemainnya biasa disebut panjak atau niyogo atau yogo. Jenis gamelan ini banyak tersebar di pulau jawa, salah satunya di kabupaten Banyuwangi. Di dalam lingkup kesenian Banyuwangi ini terdapat banyak ragam dari gamelannya. Karena termasuk wilayah jawa timur maka musik karawitan di Banyuwangi lebih mendekati gaya jawa timuran yang rancak dari pada karawitan gaya solo yang lebih halus. Kegunaan dari gamelan di Banyuwangi salah satunya adalah untuk mengiringi kesenian barongan. Seperti yang dilihat pada kesenian barongan (21/10) di daerah Kemiren, Kabupaten Banyuwangi pertunjukan barongan diiringi menggunakan seperangkat gamelan pangkon khas banyuwangi.
Peran instrumen
Suara yang ditampilkan oleh gamelan ini sangat rancak dengan kolektif suara dari instrumen-instrumennya yang terdiri dari kendang, gong, gambang, bonang barung, bonang penerus, saron, demung, kecer, kempul, dan kelincing. Sistem pelarasan bagi para pelaku, mereka tidak mengenal pelarasan mereka hanya menyebut gamelan tersebut berlaras jowo. Namun ketika kita dengarkan dengan seksama sistem pelarasan yang terjadi mendekati laras pentatonic slendro. Untuk penamaan masing-masing nada pun mereka juga tidak mengenal hal tersebut sehingga mereka lebih mengedepankan sistem pembelajaran secara oral dibandingkan tertulis karena lebih mengedepankan rasa musikal mereka. Suara paling dominan dari tiap sajian gamelan ini adalah dari instrumen kendang. Hal ini dikarenakan fungsi gamelan sebagai pengiring barong dan tari lain yang mendukung oleh sebab itu suara kendang lebih didominankan sebagai penampil hentakan-hentakan yang lebih menghidupkan gerakan tari. Kendang biasanya terdiri dari 2 sampai 3 jumlahnya karena pada saat-saat tertentu kendang dimainkan bersama dengan membentuk jalinan interlooking sesuai kebutuhannya. Selain kendang instrumen lain yang juga penting adalah gong sebagai pemangku irama. Sebagai pamurba irama adalah bonang. Bonang dimainkan menggunakan dua tekhnik yakni gembyang dan membuat ornamentasi atau sekaran sesuai gending sajian. Namun pada adegan tertentu seperti adegan si jaripah dan punakawan bertemu, yang berperan sebagai pamurba irama adalah vokal dari si jaripah. Peran ornamentasi musikal yang menonjol lain adalah dari instrumen gambang. Gambang disini dimainkan seperti umumnya gambang lainnya, menggunakan dua pemukul dan 2 nada yang dimainkan bersamaan memiliki interval 1 oktave. Gambang membentuk ornamrntasi berdasar nada balungan dari saaron dan demung. Balungan terdiri dari 3 instrumen yakni 2 saron dan 1 demung namun dimainkan oleh 2 yogo. Formatnya adalah satu saron dimainkan satu orang dengan tekhnik nyacah mirip saron penerus pada gamelan jawa. Kemudian demung dan saron lainnya dimainkan oleh satu orang dengan menggunakan 2 tabuh yang dimainkan bersamaan. Pada satu sajian tersendiri adegan tertentu muncul instrumen tambahan yang dimainkan oleh dua orang. Instrumen tersebut mereka sebut dengan nama pelog karena laras yang digunakan adalah pentatonic pelog. Bentuk dari instrumen ini mirip seperti pemade pada gamelan bali, tekhnik permainannya pun juga sama. Selanjutnya instrumen kecer. Kecer pola permainannya sama seperti kecer pada gamelan bali. Orang yang memainkan kecer ini bergantian kadang pemain gong sambil memainkan kecer pada saat irama lambat dan kadang pemain saron yang memainkan pada saat irama cepat.
Irama
Irama pada gamelan pengiring pertunjukan barong ini dapat dikatagorikan menjadi dua bentuk yakni irama cepat dan irama lambat. Masing-masing irama memiliki karakteristi tersendiri. Pada irama lambat karakteristiknya adalah dari segi alat musik yang dimainkan adalah gong, bonang barung, bonang penerus, saron, saron-demung, gambang, kendang, dan terkadang ada vokal. Pola permainan gong lebih sedikit jarang dengan menggunakan harga not setengah. Pola kendang lebih sederhana atau sedikit sekaran yang atraktif. Saron-demung dimainkan bersamaan dengan dua tabuh dan dengan nada yang sama secara bersama. Saron membuat pola nyacah yakni 4 kali dari ketukan saron-demung. Bonang barung dan penerus bermain tekhnik gembyang seperti tekhnik gembyang pada bentuk irama lancar karawitan gaya surakarta. Sesekali pada tempo lambat dan mengalami sirep atau pengurangan volume bonang tidak hanya gembyang namun membuat sebuah oranamentasi melodi atau nyengkok menyesuaikan dengan balungan oleh saron dan demung. Dalam irama lambat ini kehadiran vokal lebih sering dibanding pada irama cepat.

Irama cepat pada sajian iringan barongan dimainkan oleh instrumen gong, kempul, kecer, dan kendang. Vokal juga kadang muncul pada irama ini. karakteristik dari irama ini paling terlihat dari kendang yang berjumlah dua sampai tiga kendang bermain berssama membentuk satu pola interlooking atau kadang juga membentuk pola rampak. Selanjutnya pola tabuhan gong lebih rapat yakni menggunakan harga not seperempat ketukan semua. Pemain gong pada irama cepat fokus pada instrumen gong saja tidak seperti pada irama lambat yang sambil bermain kecer. Kecer pada irama cepat dimainkan oleh pemain saron yang tidak sedang memainkan saron. Pada irama cepat instrumen kempul hadir. Kempul yang dimaksud dalam konteks gamelan barong banyuwangi ini berbentuk plencon kecil berjumlah dua buah yang dimainkan menggunakan dua tabuh dengan pola tangan kiri bermain diharga not seperenambelasan secara terus menerus. Sedangkan tangan kanan juga bermain diharga not seperenambelasan namun hanya dua pukulan setiap satu ketuknya pada hitungan off kedua dan keempat.

SENI KUNTULAN BANYUWANGI

KUNTULAN
Oleh: Nurseto Bayu Aji
           
Rebana bukan alat musik asli dari Nusantara, namun merupakan salah satu alat musik serapan dari bangsa arab. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa arab pada masa dahulu merupakan bangsa yang besar dengan perdagangannya yang meluas di seluruh dunia. Salah satunya adalah di Nusantara. Ketika mereka berlabuh di satu wilayah mereka bukan sekedar berdagang namun juga mensiarkan agama islam dan mengenalkan budaya mereka. Salah satunya adalah musik mereka yang berbentuk perkusi salah satunya dengan instrumen rebana atau terbang. Istrumen ini banyak tersebar di Nusantara terutama di wilayah pesisir, mengingat bangsa arab yang berdagang menggunakan jalur laut, maka instrumen terbang juga lebih terkenal di daerah pesisir. Seiring bertambahnya waktu instrumen terbang tidak hanya terkenal di Nusantara namun juga berakulturasi dengan setempat dan berkambang dengan ciri khusus daerah masing-masing. Salah satu daerah yang menjadi temnpat perkembangan terbang adalah di Kabupaten Banyuwangi.
            Di bumi blambangan ini alat musik terbang membentuk ensambel musik yang biasa disebut kuntulan. Dalam kuntulan terbang dibagi menjadi tiga devisi atau jenis suara guna membentuk pola interlooking. Ketiga devisi tersebut adalah ngonteng, ngleboni, dan nimpak. Dalam pembagian tiga jenis devisi tersebut pola dasar terletak pada ngonteng selanjutnya ngleboni dan nimpak saling bersautan membentuk pola interlooking sendiri guna mengisi kerampakan kuntulan. Sehingga jumlah terbang dalam kuntulan dapat berapa saja asal kelipatan tiga. Semisal 3, 6, 9 atau 12. Nama – nama pola pada terbang antara lain krotokan dan kendaan. Dalam kuntulan terbang tidak berdiri sendiri namun didukung oleh alat musik lain yakni jidor, lencangan dan pantus. Masing-masing alat musik tersebut memiliki peran tersendiri yang penting dalam ensambel kuntulan. Lencangan perannya adalah sebagai pembantu pantus dalam mengendalikan irama. Suara yang dihasilkan oleh lencangan sendiri berkarakter middle high. Pantus seperti yang diterangkan berperan sebagai pamurba irama dan pengendali irama yang menentukan jalannya sajian ensambel kuntulan. Suara yang dihasilkan dari pantus adalah berkarakter middle low. Terakhir alat musik Jidor, pada ensambel kuntulan peran dari jidor adalah sebagai suara yang memberatkan atau menegaskan dimana letak titik berat ketukan berada. Biasanya hitungan berat terletak pada ketukan keempat karena pada umumnya kuntulan menggunakan pola irama 4/4. Pada irama 3/4 ketukan berat terletak pada ketukan ketiga.
            Sahuni (50) adalah sosok yang memiliki peran penting dalam perkembangan dan keberadaan kuntulan di Banyuwangi bahkan di Nusantara. Sumbangan yang diberikan oleh alumni ASKI Surakarta ini kepada seni kuntulan antara lain adalah dengan ia membentuk kelompok musik kuntulan yang sangat unik dan inovatif. Keunikan terlihat dari kelompok kuntulan tersebut adalah dari latar belakang masing-masing personel atau anggota yang bermatapencaharian dikelas rendah. Ada yang berprofesi sebagai pengumpul barang bekas, buruh panggul dan juga ada yang masih sebagai pelajar tutur bapak sahuni. Namun ada juga diantara mereka yang merupakan alumni Universitas Indonesia yang merupakan sarjana ekonomi. Ia juga merupakan seorang pembuat alat-alat musik ensambel kuntulan yang berkelas satu atau terbaik menurut bapak Sahuni. Sebut namanya Muhammad Saleh. Walaupun merupakan seorang sarjana ekonomi namun Saleh memilih melanjutkan profesi ayahnya ini sebagai seorang pembuat alat musik Kuntulan. Ia bergabung dengan kelompok musik Kuntulan Bapak Sahuni ini juga dengan alasan menggantikan ayahnya yang dulu sebagai salah satu anggota kelompok Kuntulan tersebut.
            Kelompok Kuntulan bapak Kepala Desa Singojuruh ini terbilang kelompok yang inovatif karena secara musikal ia mencoba mengkolaborasikan kuntulan dengan alat musik tradisi yang lain seperti ada kendang banyuwangi, kendang bali, ceng-ceng, ketuk, gong-kempul, katir dan kluthuk. Secara aransemen musik yang digarap bapak kades ini pula lebih mementingkan konsep seperti pada karya-karya nya yang sudah terkenal. Ujar Bapak Sahuni ide garap yang muncul dalam ia menciptakan musik beridium dari gambaran suasana alam seperti bunyi-bunyian dari satwa, udara, air yang dikorelasikan dengan alat musik pilihannya.

            Sesuai ide garap yang diusung oleh komposer seorang kades ini, sajian musik kuntulan bersifat fase atau dibagi dalam beberapa bagian. Ada yang namanya bagian terbang atau instrumen kuntulan murni. Pada fase ini yang bermain adalah semua terbang, pantus, lencangan, jidor dan ketuk. Bagian lain adalah dimainkan dengan semua pemain terbang berganti instrumen ketuk yang dimainkan dengan pola interlooking mirip pola terbang dibantu dengan gong-kempul, kendang bali dan ketuk biasa. Bagian lain juga terjadi semacam pola rampak kendang yang dimainkan oleh 3 pemain kendang banyuwangi yang membentuk pola rampak dan jalinan interlooking tertentu. Dalam fase ini didukung oleh alat musik terbang sebagai penghentak ritme dan kadang sebagai pemangku ritmenya, juga dibantu alat musik gong-kempul, dan ketuk biasa. Pada dasarnya yang diutamakan pada permainan kuntulan ini adalah bagaimana jalinan interlooking yang dibentuk oleh para pemainnya karena juga terjadi jalinan interlooking lagi pada fase kotir dan kluthuk yang dimainkan.

Selasa, 08 Oktober 2013

ENTUS SUSMONO DI BLITAR

Bulan Juni adalah bulannya Bung Karno. Di blitar (5/6) diselenggarakan acara untuk memperingati itu. Terutama yang berada di Istana gebang yakni sebuah acara yang bertakjub Kongres Kerakyatan XVIII. Acara tersebut berlangsung sejak tanggal 1 juni hingga 5 juni yang menjadi puncak acara. Pada puncak acara, diselenggarakan beberapa acara puncak dan salah satunya adalah panggung pagelaran seni wayang kulit dengan dalang Ki Entus Susmono phd. Pangung dan tempat pertunjukan terlihat begitu megah dan mewah walaupun diselenggarakan dihalaman belakang dari istana gebang ini. Pertunjukan direncanakan mulai pada pukul 20.30 WIB namun pada pelaksanaannya pertunjukan wayang baru bisa dimulai pada pukul 23.09 WIB. Hal tersebut sebablan karena adanya faktor yang mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut adalah karena sempat ada bentrok dari pihak luar yang diuduga mahasiswa, bentrok dengan panitia. Bentrok tersebut terjadi akibat dari kesalahpahaman antara mahasiswa peserta kongres yang tidak terima dengan hasil kongres yang sudah 5 hari dilaksanakan. Bentrok tersebut berlangsung sampai dengan adegan lempar melempar batu yang mengakibatkan muncul rasa ketakutan dari segenap crew dari Ki Enstus.
            Ketakutan karena lemparan batu dari para perusuh ini berlangsung sangat lama hingga menunda waktu pertunjukan wayang. Para pemusik dan pesindhen pun memutuskan untuk turun terlebihdahulu dari panggung untuk menghindari lemparan batu. Namun setelah insiden tersebut pagelaran wayang kulit dari Ki Entus tetap dimulai dan antusias penonton sangat hebat dengan banyak sekali penonton yang menyaksikan pertunjukan sampai akhir. Pada awalnya penonton tidak diperkenankan masuk ke area pertunjukan, hanya disediakan layar LCD besar di depan lapangan tempat parkir, namun karena permintaan pribadi dari Ki Entus kepada panitia untuk memperbolehkan penonton masuk ke arena pertunjukan.
            Pertunjukan berlangsung sangat meriah dengan background dari guyuran air hujan. Karena lebatnya hujan sampai-sampai atap dari panggung pertunjukan bocor oleh air hujan. Pas di atas dalangpun terjadi kebocoran yang mengakibatkan dalang menjadi basah kuyup. “telese nganti tekan katok njero” ujar dari Ki Entus yang artinya basah sampai celana dalamnya. Masalah kebocoran pada panggung pertunjukan ini tidak sedikitpun mengurangi semangat dari Ki Entus dalam melakukan pertunjukan hingga mempengaruhi para pengiringnya yang menjadi semakin semangat walaupun diguyur hujan lebat.
            Gema dari suara gong, kempul, gong cina dan timpani pun menghiasai dari pertunjukan wayang Ki Entus. Apalagi dengan seimut dari alunan melodi biola, terompet dan saxophone yang semakin menghangatkan suasana pertunjukan. Faktor musik sangat memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertunjukan Ki Entus ini. Sartuan tabuhan balungan dari alat musik Balungan dan Saron barung konsisten dengan suara rancak dan kompaknya dari mulai patet manyura awal samapai patet manyura akhir. Bahkan yang terjadi pada patet nem dan patet songo saat pertunjukanpun balungan malah semakin hebat dalam melakukan kombinasi-kombinasi nada baik secara harmoni kempyung, gembyang maupun secar imbal.
            Tak kalah dengan alat musik balungan, alat musik kendang pun semakin bersemangat dalam mengiringi atau menegaskan gerakan wayang. Walaupun si pengendang pada saat pertunjukan melakukan banyak kesalahan menurut dalang tidak tepat dengan gerakan wayang. Namun memang sudah menjadi watak dari pengendang yang memang ndablek ia tidak terpengaruh dengan hal tersebut untuk mengurangi semangatnya. “selama saya nderek mas entus kurang lebih 7 tahun ini, dimarahin atau dimaki saat pementasan sudah menjadi hal biasa. Karena saya pernah dikasih tahu sama mas entus kalau saat seperti itu dia hanya akting untuk memberikan kepuasan tersendiri saat memaki orang pas pentas” ujar Hatmanto seorang pengendang dari Ki Entus.
            Sajian musik dan sajian cerita drama wayang mampu menghipnotis para penonton hingga membuat mereka tercengah dan terpaku pada saat adegan Bima dan Ibunya Dewi Kunthi dalam ceritra Banjaran Bima. Sampai ada penonton yang menangis karena drama yang disajikan dan musik yang mengiringi.
            Pertunjukan Ki Entus di kabupaten Blitar untuk memperingati hari Bung Karno ini dinilai cukup sukses, ujar dari salah satu panitia. Hal tersebut dikarenakan banyak penonton yang antusias dan pesan yang disampaikan pada saat pertunjukan dapat sampai kepada penonton sehingga terjadi interaksi antara dalang dan penonton dengan sukses. Walaupun pertunjukan sempat tertunda karena ulah dari para oranag-orang yang tidak bertanggung jawab ini, kesalahan dinilai terjadi dari panitia dan peserta kongres dalam menentukan hasil dari kongres dan kesalah fahaman yang berkelanjutan.

SRAGENAN MENGGESER TRADISI

Banyak bermunculan kelompok-kelompok musik yang mengatasnamakan dirinya sragenan. Pada awalnya jenis musik sragenan muncul hanya di daerah Sragen. Realitanya muncul juga di wilayah sekitar seperti Karanganyar, Sukoharjo, Ngawi dan wilayah Solo raya lain. Musik yang berakar pada tradisi karawitan kraton ini pada dasarnya sama dengan induknya, namun hanya faktor garap yang membedakan.Pada sragenan, garap lebih mengacu pada sifat gayeng dan berjiwa muda. Dan dirangkai pada irama kendangan geculdengan struktur yang rumit.Namun itu yang terjadi pada masa mbah-mbah kita. Karena pada realita sekarang sragenan yang dikenal dan digemari oleh kaum muda adalah lagu-lagu populer yang dibawakan lewat media gamelan ageng.
Musik sragenan kini semakin mudah ditemukan dan didengarkan oleh orang-orang di pulau Jawa bahkan di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan setiap kali seni sragenan dipentaskan pasti didokumentasikan oleh video shooting. Pada umumnya terjadi pada acara hajatan. Selanjutnya kenakalan muncul bisa dari pelaku seni sragenan sendiri, crew dari video shooting yang mengabadikan. Kenakalan yang dimaksud adalah bagaimana mereka sebagai si pemegang keping-keping CD dokumentasi pertunjukan, memperbanyak keping CD secara ilegal dan menjualnya di kios-kios kaset pinggir jalan yang sering kita jumpai.
Tujuannya untuk mendapatkan uang tambahan bagi pihak video shooting. Sama halnya dengan pelaku seninya, selain mendapat uang tambahan juga untuk mendongkrak popularitas kelompok musiknya.
Secara hukum hal demikian termasuk pembajakan. Namun pembajakan terhadap karya sendiri yang terjadi, karena CD yang mereka edarkan kebanyakan tidak mengantongi perijinan yang legal. Hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan oleh masyarakat penikmat musik. Buktinya justru dengan hal tersebut, tujuan pembajakan dari pelaku seni justru berjalan dengan lancar. Peredaran dari keping-keping CD ini tidak hanya di daerah Sragen sebagai daerah awal, namun juga beredar sampai daerah sekitar solo raya bahkan sampai di jawa timur dan daerah jawa tengah bagian barat. Popularitas semakin terdongkrak dan musik mereka justru dijadikan barometer musik lokal setempat.
 Di jadikan barometer karena nikmatnya musik sragenan ini dapat merangsang kelompok musik baik karawitan maupun campursari di daerah-daerah mulai beralih ke genre sragenan. Oleh karena itu banyak bermunculan kelompok musik sragenan yang tidak hanya dari daerah Sragen. Penggemar musik sragenanpun juga semakin tumbuh pesat dan kebutuhan akan hiburan sragenan juga bertambah. Peluang usaha dalam menyediakan jasa musik sragenan inilah salahsatu faktor bermunculannyakelompok musik sragenan di daerah tetangga Sragen.
Semakin banyaknya kelompok musik sragenan dipentaskan di daerah-daerah jawa, genre musik ini semakin diminati oleh masyarakat. Dampaknya justru karawitan yang masih ‘murni’ yang cenderung musiknya melambai kurang diminati. Kalah dengan sragenan yang musiknya gayeng dan menggebu-gebu.

Langka, mungkin itu yang terjadi pada karawitan tradisi di masyarakat. Karena jarang lagi ditemukan pada acara-acara adat masyarakat. Kalah dengan sragenan. Bahkan sragenan sendiri sampai menjamur keranah seni pewayangan. Pada adegan hiburan seperti limbukan dan goro-goro lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan atau hampir semua adalah lagu-lagu sragenan.

KLASIFIKASI PENONTON PERTUNJUKAN WAYANG KULIT: STUDI KASUS WAYANG KULIT KI ENTUS SUSMONO

Pendahuluan
            Wayang kulit merupakan salah satu kesenian di nusantara yang menggunakan media boneka dari kulit binatang yang disorot dengan lampu untuk menghasilkan bayangan yang indah. Dalam pementasannya wayang kulit diiringi dengan musik yang sangat khas dari ensembel gamelan ageng. Biasanya musik dalam pertunjukan wayang dibagi menjadi 3 tipe berdasar modulasi nada slendro. Pembagian tersebut antara lain adalah Nem, Nyongo, dan Manyura. Pertama kali dalam pertunnjukan wayang dimulai biasanya diawali dengan gending atau repertoar yang berjuluk Talu yang menggunakan modulasi nada slendro manyura. Selanjutnya langsung berpindah modulasi ke slendro nem untuk iringan adegan jejer atau paseban dalem sampai adegan peperangan akhir. Kemudian beralih ke modulasi slendro songo pada adegan goro-goro sampai cerita selanjutnya. Modulasi dari slendro nem ke slendro songo ini terjadi secara fleksibel. Maksudnya adalah menyesuaikan dengan keadaan dan cerita dai wayang kulit sendiri, tergantung bagaimana garap dari dalang sebagai pelaku utama dalam pertunjukan.
            Seni wayang kulit ini dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan apabila ada peran serta dari penonton. Karena penonton adalah sebuah item yang sangat penting bagi suatu pertunjukan dalam bangunan keutuhan sistemnya. Seperti kutipan dari situs STKUP YPUP yakni “Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi dasarnya adalah yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton”[1]. Oleh karena itu penonton sangat penting dalam pertunjukan wayang kulit. Penonton tidak hanya menjadi objek dari senio pertunjukan wayang kulit namun penonton juga berperan sebagai pendongkrak popularitas pelaku pertunjukan seperti halnya seorang dalang dapat terkenal karena banyak penggemarnya. Penggemar atau yang lebih populer disebut sebagai fans. Kata fans dihubungkan dengan kata fanatic yang diambil dari bahasa latin fanaticus yang berarti belonging to the temple[2]. Namun menurut adorno, fans atau penonton atau penggemar dapat dibagi menjadi beberapa menurut tingkatannya.
            Dalam tulisan ini akan menggunakan beberapa konsep dari adorno karena menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan adalah mengenai bagaimana pengklasifikasian penonton dalam pertunjukan wayang. Penyempitan penelitian dilakukan terhadap satu objek seni yakni kelompok wayang oleh Ki Entus Susmono. Entus dan kelompok musiknya yang bernama Satria Laras ini dalam setiap pertunjukannya pasti dapat mendatangkan banyak penonton karena memang merupakan sudah kelompok seni yang kawakan dan sudah memiliki ciri khas musik sendiri seperti yang akan dipaparkan dalam isi dari makalah ini.
            Dalam penelitian tentang klasifikasi penonton wayang kulit ini melihat pengklasifikasiannya berdasar tingkatan peran penonton dalam pertunjukan, faktor sajian pertunjukan dan faktor kebutuhan penonton. Namun untuk lebih memberikan sekat dalam pengklasifikasian, akan juga digunakan durasi waktu dalam pementasan karena akan terlihat jelas volume penonton yang ada. Untuk lebih menjelaskan tentang pengklasifikasian penonton wayang kulit ini, akan digunakan beberapa konsep dari T.Adorno tentang klasifikasi penonton yakni The good listener, The culture consumer, The jazz fan dan Unmusical. The good listener dipakai untuk melihat bagaimana penonton yang baik yang menikmati pertunjukan bukan hanya untuk prestise tetapi karena memang suka. Penonton yang baik ini biasanya melihat pertunjukan secara menyeluruh atau detail terhadap pertunjukan wayang kulit, tetapi belum tentu mereka paham betul tentang teknik atau struktur tertentu tentang pertunjukan wayang.
            The culture consumer adalah penonton yang lebih fokus terhadap kemasan pertunjukan. Dapat dilihat dari segi garap musik maupun kemasan pembawaan seorang dalang. Hal ini dimungkinkan karena dalam pertunjukan wayang kulit seorang dalang adalah penentu susasana dalam mensituasikan pertunjukan. Selanjutnya adalah the jazz fan adalah penonton yang hanya menjadi penggembira. Maksudnya adalah penonoton yang hanya melihat pertunjukan sebagai hiburan. Hiburan karena disebabkan penonton ada kontak emosional atau kekerabatan dengan si pengundang pertunjukan wayang. Kemungkinan kedua penonton juga ada hubungan kekerabatan atau hanya sekedar kenal atau hanya mengidolakan dalang secara perorangan atau secara kemasan beserta musiknya. Unmusical sedikit mirip dengan the jazz fan, karena dalam konsep ini melihat penonton yang sama sekali tidak melihat pertunjukan dan tidak menikmati hasil suara dari pertunjukan wayang kulit. Penonton jenis ini hanya sekedar datang dalam lingkungan pertunjukan karena faktor lain yang non kesenian di area pertunjukan.
            Secara garis besar dalam penelitian ini, pengklasifikasian penonton pertunjukan wayang kulit akan diklasifikasikan berdasar  konsep adorno tersebut. Sebagai pijakan dasar memang memakai konsep adorno tersebut, namun dalam prakteknya pengklasifikasian penonoton akan lebih dipilah berdasar durasi waktu pertunjukan, tingkat pendidikan masyarakat sekitar dan faktor ekonomi masyarakat dari wilayah diadakannya pertunjukan.
Pertunjukan wayang kulit Ki Entus Susmono
            Ki Entus Susmono merupakan dalang wayang kulit yang sudah ternama di Indonesia atau bahkan di kancah internasional. Dalang yang berasal dari Kabupaten Tegal ini dalam setiap penampilannya memang lain dibandingkan dengan dalang wayang lain. Ciri khas dari Ki Entus yang paling menonjol adalah dari cara ia merakit setiap adegan dalam cerita wayangnya yang dibuat seolah seperti drama pada kehidupan manusia sehingga dapat mempengaruhi para penonton untuk terpaku dalam alur cerita yang dibawakan. Ciri lain adalah dari tutur katanya yang sedikit humoris bahkan kadang memunculkan unsur kata-kata jorok atau saru untuk membuat tertawa para penonton. Ki Entus menjadi dalang yang paling ditakuti untuk di tanggap oleh kalangan Politik atau pemerintah yang memiliki cacat dalam tugas jabatannya, karena kadang ia blak-blakan dalam membongkar aib para pejabat dengan dibumbui sedikit lelucon yang kadang membuat pejabat yang kena tersebut menjadi malu atau kehilangan muka di khalayak. Pengamatan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Ki Entus beberapa tahun yang lalu masuk bui karena tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh salah seorang pejabat dari salah satu parpol besar di Indonesia. Karena hal-hal demikian tadi tak heran bahwa Ki Entus merupakan dalang yang fenomenal dengan sejuta tingkah lakunya yang kadang tidak terduga. Dalam pertunjukan wayangnya pun juga demikian. Kadang muncul hal-hal yang tidak terduga yang tidak sewajarnya dalam pertunjukan wayang kulit, seperti halnya unsur-unsur musik atau garap musikal dari ensembel yang mengiringi.
            Musik yang mengiringi dalam pementasan wayang kulit Ki Entus Susmono adalah kelompok musik karawitan Satria Laras. Satria Laras pada dasarnya sama seperti kelompok karawitan yang lain. Yang paling membedakan dari kelompok musik ini adalah dari segi susunan alat musik, penataan tempat dan garap musikalnya. Satu persatu akan dibahas dalam selanjutnya ini:
a.      Susunan alat musik
Susunan alat musik dari Satria Laras adalah terdiri dari perangkat gamelan ageng pelog dan slendro yakni set kendang jawa, 2 demung, 2 saron, peking, bonang barung, bonang penerus, bonang penembung pelog, gender, slenthem, gong, kempul, ketuk kempyang, kenong, rebab, siter dan gambang. Instrumen yang membedakan daripada kelompok karawitan lain adalah adanya alat musik set kendang sunda, jimbe, bedug tibet, cymbal, chinese gong, brass section dan string section (biola).
b.     Penataan Tempat
Penataan tempat pada Satria Laras dan pertunjukan wayang Ki Entus Susmono ini memang lain dari pada yang lain. Kalau biasanya letak gender berada di belakang dalang tepat dan di ikuti oleh kendang dibelakangnya dan instrumen balungan di paling belakang. Namun pada penataan Satria Laras letak kedua set kendang yakni jawa dan sunda justru di belakang dalang dan dibelakangnya tepat berada Instrumen balungan. Hal ini dilakukan karena pemegang kendang merupakan penata iringan yang mengatur jalannya iringan musik di bawah pengaturan dari dalang. Sehingga penting peletakan ini dilakukan untuk memudahkan pengendang sebagai penata iringan untuk mengkordinir pemusik atau pengrawit yang lain.
c.      Garap Musikal
Sebetulnya dalam garap musikal Satria Laras sangat banyak ciri khusunya yang membedakan dengan kelompok musik lain. Namun karena dalam makalah ini hanya akan membahas tentang pengklasifikasian penonton sehingga dalam garap musikal hanya dapat digaris bawahi bahwa Satria Laras dalam garap musikalnya mengutamakan ketepatan pukulan dan menonjol dalam Instrumen balungan yang memunculkan suasana rancak yang dapat memkau dan membuat terpana para penonton.
Penonton dalam pertunjukan wayang kulit Ki Entus Susmono
Dalam setiap pementasan wayang Ki Entus, jarang sekali terdapat sedikit penonton yang menyaksikan karena faktor kepopuleran dari Ki Entus ini sendiri dan atmosphere yang dihasilakan dalam pertunjukannya. Bahkan tidak jarang pula dalam setiap pertunjukannya yang dilaksanakan di tanah lapang, penonton sampai penuh dan memadati area pertunjukan bahkan membuat jalanan di sekitar area tanah lapang menjadi macet oleh kendaraan-kendaraan yang parkir. Dalam maupun luar area pertunjukan biasanya juga dipadati oleh para pedagang tang terdiri dari pedagang makanan dan usaha dagang lain seperti souvenir atau juga pada daerah tertentu kadang ada pedagang menjajakan perjudian seperti judi roda berputar dan judi catur, sehingga penonton dalam pertunjukan wayang kulit dapat terlihat padat dan hampur tidak ada cela. Jumlah penonton yang banyak dengan aktivitas masing-masing tersebut dapat diklasifikasikan menjadi seperti demikian:

a.     The good listener
Seperti yang telah dipaparkan didepan bahwa The good listener merupakan penonton yang baik yang menikmati pertunjukan bukan hanya untuk prestise tetapi karena memang suka. Penonton ini biasanya melihat pertunjukan secara menyeluruh atau detail terhadap pertunjukan wayang kulit, tetapi belum tentu mereka paham betul tentang teknik atau struktur tertentu tentang pertunjukan wayang.  Dikatakan sebagai The good listener dalam pertunjukan wayang kulit Ki Entus adalah para penonton yang datang karena ingin melihat bagaimana sajian dari pertunjukan itu, yang mereka adalah penonton yang ingin tahu betul bagaimana pertunjukan Ki Entus berlangsung dengan bekal pengetahuan tentang wayang kulit yang lumayan detail dan penuh. Contoh konkrit dari penonton ini adalah para kaum muda yang sedang belajar tentang seni pewayangan, baik yang otodidak atau yang lewat dunia akademis seperti mahasiswa.
Kaum akademisi yang menjadi penonton dalam pertunjukan wayang kulit Ki Entus pasti pertama kali yang dirasakan adalah merasa aneh dan asing. Hal tersebut karena gaya dari pewayangan Ki Entus memiliki cirinya sendiri yang berbeda jauh dari gaya pedalangan yang diajarkan di dunia akademisi. Bahkan tidak sedikit pengajar pedalangan khusunya bidang wayang kulit yang mengekang tentang gaya pewayangan dari Ki Entus ini karena berbeda dengan pedoman atau tradisi pewayangan yang mereka anut. Sehingga dampaknya dalam setiap pementasan Ki Entus, jarang sekali ditonton oleh para pengajar tentang pedalangan seperti dosen atau pengajar lain.
Posisi dari penonton ini adalah biasanya berada di deretan depan dari pada seluruh penonton yang ada. Namun bukan depan sendiri, posisi depan tapi bukan paling depan. Posisi ini sangat cocok karena dari sisi itu mereka mendapatkan titik focus atau titik pandang yang tepat dalam menyaksikan pertunjukan wayang. Selain itu pada posisi itu juga stereo ponik dari pengeras suara sangat maksimal untuk mendapatkan kejelasan suara dari panggung pementasan. Ciri khusus dari penonton jenis ini adalah biasanya mereka duduk dengan tenang, memperhatikan dengan fokus terhadap sajian pertunjukan, posisi tangan sebagian besar mereka dilipat di depan dada dan mereka lumayan menikmati pertunjukan. Setiap kali ada kejutan atau hal yang menarik dari pertunjukan seperti misal ada tekhnik sabetan wayang yang unik atau musik yang aneh, pasti mereka segera mengakan badan dan mencari-cari apa yang terjadi, seakan ingin lebih tahu. Durasi waktu dari penonton jenis ini adalah mereka bertahan menonton ada yang sampai selesai pertunjukan atau juga ada yang pada saat adegan goro-goro sudah pulang karena inti cerita dinilai sudah selesai dan terpapar.
b.     The culture consumer
Thr culture consumer adalah penonton yang lebih fokus terhadap kemasan pertunjukan. Dapat dilihat dari segi garap musik maupun kemasan pembawaan seorang dalang. Hal ini dimungkinkan karena dalam pertunjukan wayang kulit seorang dalang adalah penentu susasana dalam mensituasikan pertunjukan. Terutama pada pertunjukan wayang Ki Entus yang memiliki ciri khusus dalam sajiannya dan garap musik yang beda dari yang lain.
Posisi dari penonton ini biasanya adalah berada di tengah kerumunan penonton atau juga bisa berada di samping sekitaran panggung pementasan. Mereka biasanya lebih suka berdiri dan berdirinya mereka tersebut dapat bertahan berjam-jam hingga pertunjukan berakhir. Tapi kebanyakan jenis penonton ini, mereka durasi menontonnya ada dua yakni sampai pada adegan limbukan atau peperangan dan yang kedua mereka sampai akhir adegan goro-goro. Jenis penonton ini yang berdurasi sampai akhir goro-goro memang sulit untuk dibedakan dengan jenis the good listener, namun yang dapat membedakan adalah dalam hal memperhatikan pertunjukannya. Misal ketika seperti ada kejutan atau kejadian aneh dalam pementasan, jenis penonton ini paling hanya tersenyum atau tertawa saja. Tidak seperti the good listener yang antusiasnya lebih.


c.      The jazz fan
The jazz fan adalah penonton yang hanya menjadi penggembira. Maksudnya adalah penonoton yang hanya melihat pertunjukan sebagai hiburan. Hiburan karena disebabkan penonton ada kontak emosional atau kekerabatan dengan si pengundang pertunjukan wayang. Kemungkinan kedua penonton juga ada hubungan kekerabatan atau hanya sekedar kenal atau hanya mengidolakan dalang secara perorangan atau secara kemasan beserta musiknya. Penonton jenis ini dalam pertunjukan Ki Entus sangat banyak terlihat, misal ada pejabat setempat yang datang, mereka padahal belum tentu suka dengan pertunjukan wayang, namun tetap datang karena faktor ingin menjaga nama baik dan untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakatnya.
Posisi dari penonton jenis ini tidak tentu, mereka tidak dapat diprediksi lewat posisi, mereka dapat diketahui hanya dari tingkah laku dan durasi bertahannya. Tingkah laku dari penonton jenis ini adalah ngobrol sendiri dengan temannya, bermain ponsel genggam, sering menguap, tapi tetap pada area view pertunjukan. Durasi untuk penonton jenis ini adalah mereka semau mereka, ada yang baru pertunjukan berlangsung 1 sampai 2 jam sudah pulang atau maksimal mereka hanya sampai akhir adegan limbukan langsung pulang.
d.     Unmusikal
Penonton jenis ini hanya sekedar datang dalam lingkungan pertunjukan karena faktor lain yang non kesenian di area pertunjukan. Faktor lain tersebut antara lain adalah seperti faktor butuh hiburan karena suntuk dirumah, ingin bersosialisasi dengan teman-teman atau orang banyak, fafktor adanya pedagang yang beranekaragam dan banyak pilihan, faktor karena adanya perjudian, dll. Penonton unmusical tidak begitu mementingkan bagaimana pertunjukan wayang, posisi mereka adalah jauh dari area view pertunjukan. Walaupun mereka dapat dikatakan hanya sebagai pendengar karena kerasnya suara pertunjukan yang dihasilkan dari pengeras suara, namun mereka tidak mempedulikan hal tersebut. Mereka lebih mementingkan kesibukannya sendiri di area sekitar tempat pementasan. Yang termasuk dalam penonton jenis ini bukan hanya orang yang sengaja datang berkunjung dari rumah, namun pedagang yang sedang berniaga atau melakukan jual beli dan orang yang lewat juga termasuk. Semua orang yang berada di sekitar area pementasan wayang yang tidak begitu mempedullikan suara atau view pertunjukan termasuk ke dalam jenis penonton ini.
Penutup dan kesimpulan
Oval: Unsmusikal
The jazz fan (dapat dimana saja)
 
The culture consumere
 
The good listener
 
The culture consumere

 
Area pementasan
 
The culture consumere

 
Area pertunjukan
 
            Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pertunjukan wayang, penonton dapat dipilahkan atau diklasifikasikan menurut karakter dan kebutuhan mereka. Untuk lebih jelas akan dibuat bagan seperti dibawah ini:




The jazz fan (dapat dimana saja)

 
 





Keberadaan penonton dalam pertunjukan wayang kulit sangat penting perannya. Apapun jenis dari penonton tersebut kita wajib hargai karena merekalah yang menjadi konsumen budaya nusantara yang ikut serta melestarikan juga.





DAFTAR PUSTAKA
http://duniakampusmakassar.blogspot.com/2009/03/seni-pertunjukan-adalah-segala-ungkapan.html diunduh
INFORMAN
Dwi Hatmanto Nugroho S.Sn (36) sarjana pedalangan dan pengrawit dari kelompok musik Satria Laras



[1] http://duniakampusmakassar.blogspot.com/2009/03/seni-pertunjukan-adalah-segala-ungkapan.html diunduh pada 17 Juni 2013 pukul 14:32
[2] Echols dan sadily : 1996