Nurseto
Bayu Aji
S1
– Etnomusikologi
11112102
Bayu.seto07@gmail.com
A.
Pendahuluan
Ringgit
purwo adalah sebutan lain dari seni pertunjukan wayang kulit. Yakni adalah
sebuah kesenian dari daerah jawa yang mementasan berbagai banyak tokoh-tokohnya
yang di wakili oleh wayang kulit. Wayang kulit adalah sebuah kulit binatang
yang diukir dan dibentuk menyerupai sosok manusia dengan kedua tangan jujutan (diperpanjangkan) yang dapat
digerakan serta tubuh yang menghadap menyamping. Biasanya wayang ini terbuat
dari kulit binatang sapi atau kerbau karena dinilai serat-serat di dalamnya lebih
padat dan banyak membentuk sudut. Oleh karena itu kulit sapi dan kerbau dipilih
karena sangat kuat untuk diukir dan di bentuk sesuai keinginan.
Secara
visual wujud dari pertunjukan ini adalah dengan menggunakan sebuah layar besar
yang dibentangkan menyamping kira-kira berukuran 8 m x 2 m yang disebut kelir. Kemudian dibagian bawah sebagai
tempat menancapkan wayang adalah menggunakan debog atau pohon pisang yang di tata bertumpuk atas dan bawah. Pada
bagian samping kiri dan kanan kelir ditancapi
banyak wayang yang kemungkinan besar tidak digunakan dalam pertunjukan.
Wayang-wayang ini disebut wayang simpingan.
Pada bagian kanan adalah wayang kelompok pandawa dan para dewa. Hal ini
menandakan bahwa sisi baik atau kebenaran ada di bagian kanan. Sisi lain
sebelah kiri adalah wayang kelompok raksasa atau buto dan para kurawa. Hal ini menunjukan bahwa sisi jahat atau
buruk adalah sisi sebelah kiri. Kemudian selain wayang simpingan tentu ada wayang-wayang pokok yang digunakan dalam
pertunjukan. Biasanya wayang ini ditaruh di dalam kotak, di atas kotak dan di
atas tutup kotak peyimpanan wayang yang terletak di depan kelir dan di samping kanan kiri seorang dalang. Selain itu untuk
penerangannya menggunakan sebuah lampu yang digantung di depan layar dan tepat
di atas kepala dalang yang disebut blencon.
Tentu saja wayang kulit tersebut tidak
bergerak sendiri karena sudah pasti adalah benda mati dan tak bernyawa. Wayang
kulit di gerakan dan dimainkan karakter suara serta emosinya oleh seorang dalang.
Biasanya seorang dalang ini adalah seseoarang yang mahir berbicara dengan
bahasa jawa kawi[1] karena dalam pertunjukan ringgit purwo menggunakan
cerita-cerita yang di ambil dari kitab atau serat mahabarata dan ramayana yang
masih menggunakan bahasa jawa kawi dan jawa kuno. Serat mahabarata dan ramayana
sebetulnya merupakan sebuah serat yang lahir dari agama hindu di india. Kedua
serat ini memiliki masing-masing cerita yang berbeda. Serat mahabarata adalah
sebuah kitab yang menceritakan tentang bagaimana cerita dari kehidupan 5
pandhawa dan 100 kurawa. Cerita ini di mulai dari pertama tokoh prabu arjuna
sosrobahu sampai dengan cerita tentang parikesit. Yang kedua adalah serat
ramayana, cerita yang terkandung di dalamnya jika di sinkronkan dengan cerita
mahabarata cenderung lebih lama atau lebih dahulu dibanding mahabarata. Karena
cerita didalam kitab ini intinya adalah menceritakan tentang bagaimana
perselisihan antara prabu rama wijaya yaitu sang keturunan dewa wisnu melawan
prabu rahwanadiraja. Kedua kitab ini cenderung dikatakan berkesinambungan atau
sinkron karena sama-sama di dalamnya muncul tokoh yang sama yakni “anoman”.
Anoman adalah sesosok kera yang berwarna putih dan berwujud setengah manusia
serta dilengkapi dengan kesaktian yang tak terkalahkan.
Ringgit
purwo dalam pementasannya memiliki beberapa runtutan sajian. Yang paling
pertama dilakukan sebelum pementasan yakni sajian gending-gending klenengan
seperti misal ladrang wilujeng dan yang lainnya, tujuannya adalah sebagai
pengisi kekosongan suasana sebelum pementasan dan sebagai sarana menarik
perhatian penonton supaya terfokus kepada pementasan ringgit purwo yang akan
disajikan. Pada saat masih penyajian gending-gending klenengan ini, seorang
dalang sudah duduk di tempatnya di depan kelir atau layar, namun masih
menghadap kearah gamelan atau kebelakang pada umumnya. Setelah itu adalah
sajian gending talu, disinilah awal dimulainya pertunjukan ringgit purwo karena
lewat gending ini, seorang dalang mulai berbalik arah kedepan untuk menghadap
ke arah layar pertunjukan. Selanjutnya adalah sajian ringgit purwo, disini awal
dimulainya pertunjukan ini. Dalang mulai memegang wayang pertama yang masih
ditancapkan pada landasan sebuah pohon pisang di bagian tengah-tengah layar.
Setelah itu dimulailah adegan-adegan sesuai cerita yang disajikan. Pada umumnya
adegan dalam pewayangan yang pakem ada beberapa urutannya, antara lain (1) bedhol kayon, (2) jejer, (3) kondhur kedathon,
(4) limbukan, (5) klumpukan wadya bala, (6) budhalan, (7) perangan, (8) goro-goro,
(9) inti cerita atau lakon, (10) perang gagal, (11) pitutur dan tancep kayon.
Selain dari urutan pewayangan yang pakem tersebut, juga tidak jarang seorang
dalang menambahkan adegan flashback atau
mengulang cerita sebelumnya yang sinkron dengan cerita yang akan disajikan.
Dari seluruh adegan-adegan tersebut, disini yang akan dibahas oleh penulis
adalah tentang adegan jejer. Didalam
adegan jejer ini sudah tentu terkandung beberapa unsur yang mendukung antara
lain seni rupa, sastra, musik dan situasi sekitar. Maksud dari tulisan ini
adalah untuk menjabarkan tentang adegan jejer
dan unsur-unsur yang mendukung didalamnya.
B.
Adegan
jejer dan tokoh wayangnya
Adegan
jejer dalam ringgit purwo adalah satu
sajian yang termasuk awal, karena adegan ini disajikan guna mengawali jalannya
cerita. Adegan ini merupakan sebuah gambaran seorang raja yang sedang
dihadapkan dengan para punggawa kerajaan dan para tamu agungnya. Paseban adalah kata yang cocok untuk
mewakili gambaran situasi tersebut. Untuk runtutan masuk serta sikap wayang
dalam adegan ini biasanya diawali dengan keluarnya tokoh parkan dari arah gawang bagian kiri dan di tancapkan di bagian tepi
sisi kanan dengan posisi tangan ngapurancang.
Kemudian keluar seorang raja dari gawang kanan dan langsung ditancapkan di
bagian tapi kanan di depan parkan dengan
sikap tangan sesuai sifat pokok raja tersebut. kemudian setelah itu keluar
satupersatu punggawa kerajaan yang lain spseri patih, senopati dan para tamu
agung dari gawang sebelah kiri dengan posisi tangan ada yang ngapurancang namun juga ada yang malangkerik. Adegan jejer ini biasanya
dilakukan oleh hanya kerajaan besar dan raja yang tenar dalam cerita
pewayangan, antara lain:
1. Kedaton[2]Astina,
Kedaton astina memiliki beberapa masa kepemimpinan raja antara lain ialah Prabu
Pandu Dewanata, Prabu Destarastra, dan Prabu Duryudana. dalam situasi paseban agung yang dipimpin oleh Prabu
Duryudhana, ia dihadap para punggawa astina yakni Patih Sengkuni, Pendeta
Durna, Narpati Basu Karno, dan para saudara kurawanya. Namun tidak semua tokoh
kurawa hadir disini, umumnya hanya satu yang hadir yakni Senopati Kartomarmo.
Selain para punggawa dan saudara kurawanya, Prabu Duryudhana juga kedatangan
satu tamu agung. Tamu agung tersebut pada umumnya adalah satu tokoh pihak
pandawa yakni Prabu Baladewa atau jika tidak adalah satu tokoh dari knegeri tanah sabrang yakni kerajaan-kerajaan
tempat para raksasa/buto. Dan
terakhir tokoh yang ikut serta dalam jejer
ini adalah tokoh parkan. Parkan adalah tokoh gambaran seorang
selir atau seorang wanita sebagai pelayan raja.
2. Kedaton
Amarta, dalam adegan ini dipinpin oleh Prabu Puntadewa. Puntadewa ini adalah
raja sekaligus kakak tertua para pandawa lima, maka yang hadir dalam paseban ini adalah para saudara
pandawanya yakni Arjuna, Werkudara, Nakula dan Sadewa. Selain itu juga hadir
tamu agungnya, biasanya adalah Prabu Kresna (dari kerajaan dwarawati) atau
Prabu Baladewa. Kadang juga dalam jejer
kedaton amarto ini hadir tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng,
Petruk dan Bagong, sesuai kebutuhan cerita yang disajikan. Dan terakhir tokoh
yang ikut serta dalam jejer ini
adalah tokoh parkan.
3. Kedaton
Dwarawati, Prabu kresna sebagai raja dwarawati dan dihadapkan dengan para
punggawa kerajaan. Patihnya adalah udowo dan anak dari Prabu Kresna adalah
samba. Selain itu juga hadir tamu agung yang merupakan saudara kandung Prabu
Kresna, ia adalah Baladewa. Kadang juga hadir tamu agung lain seperti Arjuna,
Werkudara, Petruk atau tokoh pandawa dan punakawan yang lainnya. Selain itu
hadir sosok senopati dwarawati yakni Raden Setyaki yang juga merupakan saudara
kandung Prabu Kresna. Dan terakhir seperti biasa tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan.
4. Kedaton
Kahyangan Jonggrengengsaloka atau suralaya, dalam adegan jejer ini adalah paseban bagi para dewa-dewa. Seorang
dewa pemimpin adalah bethara guru. Bethara guru adalah seorang dewa yang
memiliki tunggangan seekor sapi dan ia juga dewa yang memiliki tangan banyak.
Para seban (sebutan untuk yang
mengikuti paseban) adalah para dewa-dewa menurut kebutuhan ceritanya. Dewa-dewa
tersebut antara lain Bathara Narada, Bathara Indra, Bathara Yamadipati, Bathara
Wisnu, Bathara Bayu, dan masih banyak yang lainnya. Selain itu kadang juga
untuk tamu agung yang hadir beraneka ragam menurut jalannya ceritanya seperti
misal Semar, Bathari Durga (tokoh jahat yang merupakan istri bathara guru),
Arjuna, Bathara kala (anak dari Bathara Guru dan Bathari Durga) serta masih
banyak yang lainnya.
Masih
Banyak lagi adegan-adegan jejer yang belum terungkap oleh penulis, seperti
misal adegan jejer kedaton Ayodya oleh Prabu Dasarata, Ngalengka oleh Prabu
Rahwana, Mandura oleh Prabu Baladewa, Maespati oleh Prabu Partowirya, Maespati
oleh Prabu Harjunasasra, Lokapala oleh Prabu Dhanapati, Magada oleh Prabu
Citrasena, Binggala oleh Prabu Kusumaraja, dan masih banyak lagi adegan jejer
yang belum terungkap oleh penulis seperti halnya adegan jejer pada
kerajaan-kerajaan tanah sabrang (kerajaan buto),
jejer pertapan oleh pendetanya serta jejer ksatrian oleh para satrianya.
C.
Musik
dalam adegan jejer
Adegan jejer selain identik dengan
cerita serta tokoh-tokohnya juga terkandung beberapa unsur yang mendukung
jalannya pertunjukan. Salah satunya adalah iringan musik oleh ensambel gamelan
jawa. Instrument pada gamelan jawa yang
mendukung antara lain ialah kendang, gender, rebab, saron barung, demung, saron
penerus, bonang barung, bonang penerus, gong, kempul, kenong, slenthem, ketuk,
kempyang dan suling. Tentu setiap instrument tersebut memiliki bentuk, ciri
serta kegunaan masing-masing. Dari semua instrument gamelan tersebut, yang
paling banyak dan paling menonjol fungsi serta perannya adalah kendang dan
gender. Gender memiliki peran yang sangat penting, karena disaat seluruh
instrument musik pengiring berhenti dan diam, disinilah peran penting gender
untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan cerita atau tokoh yang dimunculkan
supaya lebih menonjol karakternya. Tak kalah penting fungsinya ialah instrument
kendang. Kendang perannya disini adalah sebagai pamangku irama bagi teman-teman instrument gamelan yang lain.
Selain itu peran kendang dalam pewayangan ialah sebagai penegas gerakan wayang
dalam setiap polang tingkah wayang
tersebut. Namun dalam adegan jejer ini peran kendang lebih mengacu hanya pada pamangku irama karena kebanyakan sajian
musiknya menggunakan kendang ageng dan ketipung saja.
1. Sajian
gendhing jejer dalam pewayangan yang masih seperti mulanya
Urutan sajian gending-gending dalam
adegan jejer ini untuk pewayangan yang masih tradisi atau masih seperti mulanya
adalah biasanya dimulai dengan dodogan dalang
5 kali pada kotak kemudian disambut dengan gending ayak-ayak pathet slendro manyuro kalajengaken ketawang gending kabor
minggah ladrang karawitan. Saat disajikannya gending itu secara perlahan
dalang mencabut kayon (wayang berbentuk gunung) dari tengah layar dan diletakan
di samping sebelah kanan jika hanya satu kayon, kanan dan kiri jika dua kayon
atau bahkan satu kayon disebelah kiri dan dua kayon disebelah kanan jika
terdapat 3 kayon dari tengah. Setelah itu perlahan masuk para tokoh wayang yang
diawali dengan parkan sampai dengan masuknya seorang senopati. Sembari satu
persatu tokoh wayang ini masuk, iringan menjadi tipis dan dalang mulai menyenandungkan
sebuah janturan tentang profil
seorang tokoh yang sedang masuk dari gawang menuju tempat adegan. Setelah itu
ketika hampir seluruh tokoh wayang hadir dalam adegan dan masuk senopati,
biasanya iringan musik kembali menjadi klimaks dan berubah menjadi gending ladrang laras slendro nem.
Setelah itu adalah obrolan para wayang yang hanya diiringi oleh gender
menggunakan laras slendro nem. Ketika di tengah adegan biasanya ada seorang
tamu dari kerajaan lain datang biasanya diiringi dengan gending sampak laras slendro nem. Setelah adegan jejer ini
berakhir, ada satu adegan tambahan yakni kondur
kedaton. Adegan ini masih satu rangkaian dengan jejer. Musik yang mengiringi dalam adegan ini menggunakan gending
ketawang ataupun ladrang atau juga bisa dengan gending bedayan.
2. Sajian
gendhing jejer dalam pewayangan yang sudah berkembang
Sebetulnya
urutan sajian bentuk gending dari iringan musik pewayangan yang berkembang
intidak jauh berbeda dengan pada mulanya. Yang membedakan hanya sedikit, antara
lain bentuk garapnya. Bentuk garap disini yang dimaksud adalah penambahan
adegan sedikit pada bagian awal, yakni adegan flashback atau awal mula sebuah cerita pewayangan bermula. Biasanya
adegan ini diwarnai dengan kerusuhan atau peperangan para dewa atau raksasa
(buto). Tentu iringannya juga menyesuaikan dengan adegan tersebut. Maka dari
sinilah bermunculan para komposer musik karawitan yang mulai membuat serta
mengembangkan gending-gending untuk adegan ini.
Selain
hal tersebut yang membedakan adalah penggunaan pilihan laras dan pathet lain pada
setiap gending yang mengiringi adegan jejer. Terutama pada gending-gending
ladrang. Gending-gending ladrang disini mulai menggunakan laras pelog denganh
pathet nem, barang, maupun campuran. Dari hal tersebut, sekarang ini juga
banyak bermunculan karya-karya baru gending ladrang untuk adegan jejer ini yang
menggunakan laras pelog.
Untuk
musik dalam adegan jejer ini dapat kita tarik satu garis lurus, bahwa musik
dalam adegan jejer lebih menonjol dalam hal fungsi penegas. Maksudnya fungsi
penegas adalah sebagai penegas suasana dan gerakan pada setiap tingkah laku
wayang.
D.
Sastra
dalam adegan jejer
Sastra
(Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’,
yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’
yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau
“sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada
“kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan
tertentu[3]. Bagian
dari sastra yang paling menonjol dalam pewayangan adalah bahasa. Bahasa yang
digunakan dalam pewayangan bukanlah bahasa harian, melainkan bahasa seni atau
bahasa sastra. Bahasa yang digunakan dalam pewayangan ini sendiri dapat
dikelompokan menjadi 4 yakni (1) Bahasa jawa kuno/kawi yang bercampur dengan
bahasa sansekerta, (2) Bahasa jawa baru, (3) Bahasa jawa miring, (4) Bahasa
campuran. Sedangkan jika dilihat dari kesastraan, bahasa pewayangan dapat
dikelompokan menjadi 3 yakni (1) Bahasa Puisi (iketan), (2) Bahasa prosa
berirama (lyris prosa), (3) Bahasa prosa (gancaran)[4].
Bahasa puisi jika dalam pewayangan dapat berwujud sebuah cakepan yakni sulukan,
kombangan, celuk serta tembang. Sulukan sendiri dalam kesastraan juga
menggunakan beberapa bahasa yakni bahasa kawi, kawi miring, jawa baru dan
campuran. Pada umumnya bentuk bahasa pada pewayangan adalah sebuah bahasa prosa
berirama yang masih menggunakan sifat-sifat dari tembang dan menggunakan hiasan
tembung-tembung kawi, pepindan, paribasan, sanepa, saloka,
purwakanthi basa, klimaks dan anti klimaks. Kedudukan bahasa dalam
pewayangan ada 2 yakni:
1. Basa
crita (Bahasa cerita) adalah bahasa seorang dalang pada waktu menceritakan
keadaan yang dipentaskan dalam pekeliran.
2. Basa
pocapan (Bahasa percakapan) adalah bahasa yang digunakan untuk percakapan para
wayang. Bahasa percakapan ini banyak macamnya tergantung sifat dari tokoh
wayang masing-masing. Macam dari bahasa ini ialah : ngoko, kawi, madya, krama, bagongan (kraton), dan kasar.
E.
Suasana
Audiens
Penonton
adalah makhluk hidup yang dapat melihat mendengar dan menikmati suatu
pertunjukan seni atau yang lain. Jumlahnya tidak dibatasi, di mulai dari
nominal 1 dan seterusnya tanpa batas. Dalam pertunjukan seni pewayangan
biasanya jumlah penonton sangat banyak, terutama pada acara peringatan hari
besar di sebuah desa. Terutama waktu masih awal-awal pertunjukan dimulai. Namun
ketika sudah kira-kira pertunjukan berjalan selama kurang lebih 4 jam, satu
persatu penonton sudah banyak yang jenuh dan mulai pulang. Namun waktu masih
adegan jejer ini penonton masih banyak dan ini adegan ini merupakan titik fokus
pertama bagi penonton karena merupakan awal bermunculannya tokoh-tokoh wayang.
Sisi lainnya adalah penonton berisik dan bergemung sendiri pada waktu adegan
jejer karena faktor bahasa yang kurang dikuasai oleh orang awam ini. jadi
pesan-pesan yang sebetulnya penting yang terkandung dalam pocapan dalang tidak tersampaikan kepada penonton.
DOKUMEN
FOTO
Gambar 1 : Adegan jejer Kedaton Astina
REFERENSI:
Marwanto,
S.Kar, Apresiasi Wayang, Cendrawasih, Sukoharjo, 2001
Wojowasito,
Kamus Jawa Kawi, Surakarta, 1977
Supadmi, S.Sn, Sindhenan Gendhing
Iringan Pakeliran Wayang Kulit Purwa Gagarag Surakarta, Cendrawasih, Sukoharjo,
1988
Harghana, Bondan, Serat Ramayana,
Cendrawasih, Sukoharjo, 1998