BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang masalah
Masing-masing daerah atau tempat
tertentu pasti memiliki cerita atau sejarah masing-masing. Hal yang menjadi
sorotan utama dalam sejarah atau cerita dari sebuah tempat adalah mitosnya.
Mitos sendiri adalah cerita yang mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta
alam, manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan
cara gaib. Di indonesia sendiri dari masing-masing daerah memiliki mitos
masing-masing juga tentunya, dan di desa dawung wilayah kabupaten sragen ada
sebuah mitos tentang senthana duwur. Mitos
Senthana duwur adalah salah satu mitos dari desa dawung kabupaten sragen yang
belum banyak di kenal oleh masyarakat luas, atau bahkan masyarakat luar desa
dawung sendiri banyak yang kurang mengenal
mitos tersebut. Maka dari itu penulis akan mengkaji dari mitos Senthana duwur kedalam sebuah bentuk
tuulisan supaya lebih di kenal oleh masyarakat luas hingga mengetahui cerita
yang sesungguhnya dari mitos Senthana
duwur tersebut. Masyarakat luas maupun masyarakat sekitar banyak yang belum
mengetahui kebenaran dari mitos ini. Banyak yang menganggap ini hanya cerita
fiktif karangan para nenek moyang. Namun sesungguhnya mitos ini ada keterkaitan
dengan kerajaan majapahit dan untuk mengetahui kebenaran bahwa cerita ini
fiktif atau tidaknya penulis di sini akan memaparkan tentang (1) sejarah mitos,
(2) upacara adat dalam kebudayaan masyarakat setempat yang meyakini terhadap
tempat yang di mitoskan, serta (3) pengamatan penulis terhadap kebenaran mitos
melalui penelitian dan pengumpulan data dari masyarakat setempat.
1.2 Rumusan
masalah
Dari latar
belakang demikian penulis dapat menggali dan merumuskan beberapa permasalahan
dari mitos senthana duwur seperti
yang terdapat dalam latar belakang yakni :
1.2.1
Bagaimana
sejarah dan bentuk dari mitos senthana
duwur ?
1.2.2
Adakah
upacara adat atau ritual dari mitos senthana
duwur dan bagaimana prosesinya?
1.2.3
Bagaimana
masyarakat setempat menyikapi mitos ini
1.3 Tujuan
Penulisan dan penelitian
Dalam
penulisan ini, penulis melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap mitos senthana duwur berdasar data pengamatan
langsung dan wawancara dari orang yang ahli atau benar-benar mengetahui tentang
senthana duwur. Sehingga mendapat
data yang dapat di rangkai dan di tuangkan seperti tujuan utama penulisan yaitu
sebagai pemenuhan tugas akhir semester II studi S1-Etnomusikologi dalam mata
kuliah tradisi oral. Selain itu tujuan lain dari penulisan ini adalah:
1.3.1
Mengetahui
sejarah asal mula dari mitos senthana
duwur sebenarnya.
1.3.2
Memperkenalkan
keberadaan mitos senthana duwur kepada
masyarakat luas.
1.3.3
Memberikan
apresiasi tentang cerita mitos melalui penelitian dengan pemahaman tradisi oral
(lisan) yang di tuangkan kedalam tulisan berbentuk artikel kepada pembaca
1.4 Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang di gunakan dalam penelitian dan penulisan ini adalah metode
yang memiliki sifat yang sesuai dengan sifat penelitian dalam tulisan ini. Yakni
metode wawancara dengan mengumpulkan data kontekstual dari masyarakat setempat
yang lebih tahu tentang seluk-buluk dari objek penelitian. Untuk mendapat hasil
yang maksimal sesuai tema dan masalah yang akan di bahas, dalam artikel ini
penulis menggunakan pendekatan fungsionalisme. Pendekatan fungsionalisme secara
ontologis melihat kebudayaan sebagai sebuah kesatuan (dari
bagian-bagian/ unsur-unsur) yang terintegrasi.
1.5 Mekanisme
Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang masalah
1.2
Rumusan
masalah
1.3
Tujuan
penulisan
1.4
Metode
penelitian
1.5
Mekanisme
penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Awal terbentuk serta wujud mitos
senthana duwur
2.2. Data analisis dari hasil wawancara
kepada Sunarto
2.3. Data analisis dari hasil wawancara
kepada Atmo Ngadiyo
2.4. Data analisis dari hasil wawancara
kepada Marto Paimin.
BAB III KESIMPULAN DAN PENUTUP
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Awal terbentuk serta wujud mitos senthana duwur
Mitos adalah cerita suatu
bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang
asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa yang mengandung arti mendalam yang
diungkapkan dengan cara gaib (kamus besar bahasa indonesia). Di indonesia
hampir setiap daerah memiliki mitos tersendiri. Bahkan setiap dukuh atau desa
satu dengan yang lain memiliki cerita mitos yang berbeda walaupun mungkin
intisari ceritanya sama namun tetap berbeda dengan versi tersendiri dari
tiap-tiap tempat yang berbeda. Seperti misal dari mitos senthana duwur yang akan di ungkap dalam artikel ini. Senthana duwur adalah sebuah tempat yang
dikeramatkan oleh masyarakat desa dawung. Tempat ini adalah berbentuk kumpulan
beberapa pohon besar yang kini tinggal satu dan dua makam. Awal mula dari
tempat ini ada beberapa macam namun untuk sementara sebagai hipotesis peneliti
menggunakan data berikut menurut seorang juru kunci dari senthana duwur. Konon menurutnya sejarah tempat ini adalah bekas
dari persinggahan brawijaya yang sedang melakukan perjalanan untuk menunaikan
ibadah haji ke tanah suci di saudi arabia. Namun belum sepenuhnya data tersebut
benar karena di dapat juga data yang berbeda dari masyarakat desa dawung yang
lain. Peneliti mengalami kesusahan untuk menentukan data yang benar-benar dapat
di percaya karena dari hasil penelitian di lapangan dengan metode wawancara
terhadap masyarakat sekitar telah di dapat tiga data yang berbeda dan belum
bisa di pastikan semua. Ketiga data tersebut di dapatkan dari Sunarto yakni
salah seorang ulama di desa dawung, kedua dari Atmo Ngadiyo yakni seorang
petani yang memiliki ladang di sekitar senthana
duwur dan terakhir tentu di dapat dari Marto Paimin adalah seorang juru
kunci dari senthana duwur.
2.2
Data analisis dari hasil wawancara kepada Sunarto
Data pertama di dapatkan
penulis dari Sunarto yakni salah seorang ulama di desa Dawung. Ia memaparkan
tentang mitos senthana duwur yang di lihat dari paradigma kekinian yakni ia
menjelaskan bahwa dari bentuk tempat yang terdiri dari pohon besar dan dua
makam ini nama aslinya adalah Eyang Singo Rotan. Eyang singo rotan adalah
seorang pertapa yang dulu pernah bertapa di hutan atau alas sentana tepatnya di
bawah pohon besar yang aneh tersebut. Konon menurut masyarakat setempat eyang
singo rotan bertapa di tempat itu kira-kira ratusan tahun yang lalu. Maksud dan
tujuan ia bertapa di situ adalah untuk mencari ketenangan hidup dan anugerah
atau wahyu dari para dewa karena saat itu keluarganya sedang tertimpa musibah,
istri anak dan cucunya semua terkena penyakit yang aneh, susah mencari nafkah
dan kelaparan. Akhirnya Eyang Singo Rotan memutuskan untuk bertapa di alas
sentana. Namun di tengah-tengah pertapanya ia hilang secara aneh tanpa sebab
yang pasti tepatnya pada hari jum’at legi.
Maka dari itu ,samapai sekarang setiap hari jum’at legi masyarakat
setempat mengadakan upacara ritual untuk mengenang eyang singo rotan.
Masyarakat setempat mempercayai jika mengadakan upacara sesaji tersebut maka
mereka akan mendapatkan berkah dan kesuburan bagi pertanian mereka karena
dahulu masyarakat setempat sebagian besar bermata pencaharian dengan bercocok
tanam.
Masyarakat
menyebut upacara sesaji tersebut dengan nama “nyadran”. Prosesi dalam upacara
sesaji di tempat itu pada umumnya sama dengan upcara sesaji di tempat-tempat
dan daerah yang lain. Dalam garis besarnya tidak ada yang berbeda dengan yang
lain. Yakni terdiri dari prosesi peribadatan dengan menggunakan sesaji yang
terdiri dari nasi tumpeng atau nasi gurih, ingkung yakni ayam utuh yang di
panggang, sayur sambel goreng, dan krupuk merah. Selain itu juga kadang
menggunakan jenang tujuh warna (Bubur kental) dan kembang setaman (sesjenis bunga racikan). Juga tidak ketinggalan yang
paling penting di gunakan adalah kemenyan atau dupa. Prosesi di lakukan tepat
di sebelah makam di bawah pohon. Waktu pelaksanaan ada dua versi berbeda, versi
lama dari masyarakat tertua adalah di lakukan pada sore hari setelah matahari
tenggelam sedangkan untuk generasi yang lebih muda melaksanakan di waktu pagi
hari sekitar jam 06.00 WIB. Prosesi upacara biasa di pimpin oleh seorang tetua
desa yang disebut dengan modin[1].
“...memang seperti itu
prosesi nyadran di senthana duwur le. Dulu masyarakat
setempat sangat percaya dan meyakini untuk panggonan
angker (yang di maksud tempat senthana
duwur) disana. Mulo masyarakat
itu masih mengadakan acara nyadran. Tapi
kalau sekarang kayaknya sudah gak ada yang melakukan acara itu le. Alhamdulillah karena keyakinan
masyarakat yang makin hilang kepada mbah
Singo Rotan dan sudah banyak sekali masyarakat yang sudah mulai sadar melakukan
sholat lima waktu... “ (wawancara kepada Sunarto di kediamannya di desa dawung pada
26 April 2012 pukul 09.43)
Dari hasil wawancara terhadap
narasumber di atas, narasumber menggunakan bahasa campuran dari bahasa
indonesia dan bahasa jawa. Namun disini akan diterangkan mengenai isi dari
hasil wawancara tersebut. Menurut narasumber, ia menyatakan bahwa senthana duwur adalah tempat yang angker
dan dulu disana masih sering diadakan upacara adat yang disebut nyadran. Namun sekarang sudah tidak
pernah dilakukan karena sudah banyak masyarakat desa dawung yang menjalankan
sholat lima waktu.
Menurut Sunarto yang
menyatakan bahwa upacara sesaji di makam senthana duwur sudah jarang dilakukan
karena sudah banyak masyarakat yang sudah sadar akan agama islam memang benar.
Karena dari hasil pengamatan peneliti, sekarang di desa dawung sudah berdiri sebuah
pondok pesantren Baitul Qur’an yang sangat berperan karena dapat menyebarkan
wabah bernuansa islami kepada masyarakat desa dawung. Bahkan hingga sekarang
dampak dari pondok pesantren Baitul Qur’an telah mencetak hafidz dan hafidzah
di desa dawung dengan harapan akan menjadi ulama yang besar untuk masyarakat
desa dawung ataupun bangsa indonesia.
2.3
Data analisis dari hasil wawancara kepada Atmo Ngadiyo
Dalam
pengumpulan data kedua ini memang peneliti tidak melakukan wawancara secara
langsung. Data yang diperoleh adalah berdasar keterangan narasumber yang tidak
sengaja diperoleh oleh peneliti pada saat melakukan pengamatan secara langsung.
Dan data kedua yang didapat oleh peneliti dari narasumber kedua yakni Atmo
Diyono kurang lebih hampir sama dengan data yang diperoleh dari narasumber
pertama Sunarto. Namun ada sedikit perbedaan yakni dalam hal penyebutan nama
dari makam pada senthana duwur.
Sunarto menyebutkan bahwa nama dari makam di senthana duwur adalah Eyang
Singo Rotan namun oleh Atmo Diyono menyebutkan nama dari makam itu adalah Eyang Singgo Ruto dan Eyang Singgo Riti. Mereka adalah dua
pertapa kembar yang mencoba untuk mencari wahyu untuk kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarga mereka yang sedang tertimpa musibah. Anak serta istri
dan semua anggota keluarga mereka terkena penyakit yang aneh dan susah di
sembuhkan, susah mencari nafkah dan bahkan untuk sekedar makan sehari-hari pun
susah.
Prosesi kebudayaan
setempat yang di lakukan untuk menghormati senthana duwur yang di anggap sakral
adalah upacara guwak-guwak. Upacara
ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan hajatan dan di
lakukan sehari sebelum acara berlangsung. Dalam prosesi ini biasa dipimpin oleh
seorang ulama desa yang dikenal sebagai modin.
Sebenarnya prosesi ini tidak hanya di lakukan oleh masyarakat setempat
terhadap makam senthana duwur namun
juga dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat[2] oleh masyarakat setempat. Dalam
upacara adat guwak-guwak ini, masyarakat
menggunakan sesaji yang terdiri dari bunga 7 warna, kemenyan, jajan pasar serta
uang kecil[3]. Upacara ini menurut
analisis peneliti adalah sebuah acara yang dapat menyatukan masyarakat menjadi
satu kesatuan. Dilihat dari prosesinya upacara ini justru banyak diikuti oleh
anak-anak kecil. Hal ini dinilai adalah sebagai wujud para orangtua untuk
menanamkan rasa kebersamaan kepada anak-anaknya. Walaupun anak-anak ini
tertarik dalam prosesi upacara guwak-guwak
karena ada pembagian uang kecil ini namun hal demikian tidak menjadi masalah
bagi para orangtua yang mengawasi mereka. Karena bagi para orangtua di desa
dawung yang terpenting untuk anak mereka adalah menanamkan rasa kebersamaan.
Sehingga dapat tercipta kelompok masyarakat yang bersatu dan ayem tentrem[4] dimasa mendatang.
2.4 Data analisis dari
hasil wawancara kepada Marto Paimin
Marto
paimin memang berbeda dengan narasumber yang lain. Ia adalah seorang juru kunci
dari senthana duwur. Namun disinilah
kesulitan terbesar peneliti terjadi saat melakukan pengumpulan data berdasar narasumber
ini karena usianya yang sudah sangat lanjut yakni sekitar 80-an. Maka hanya
sedikit informasi valid yang didapat dari narasumber dan banyak yang diragukan,
padahal narasumber adalah seorang juru kunci yang dinilai paling tahu tentang
mitos dari senthana duwur.
Manurut
Marto Paimin senthana duwur adalah
sebuah tempat keramat petilasan dari persinggahan Brawijaya dari Majapahit. Di
sana terdapat banyak pohon besar dengan jenis sempu dan dua makam yang
dikeramatkan. Menurut ia sehubungan dengan wujudnya, tempat ini memiliki
sejarah yang berhubungan langsung dengan kerajaan majapahit. Konon pada zaman
dahulu Brawijaya sedang melakukan perjalanan menuju tanah suci untuk menunaikan
ibadah haji. Tiba ditengah perjalanannya, Brawijaya beristirahat disebuah
tempat. Ditempat itu Brawijaya menancapkan tongkatnya di tanah dan munculah
satu gundukan tanah yang di yakini masyarakat kini sebagai makam keramat.
Sedangkan makam yang satu lagi muncul akibat dari sisa putung rokok dari
Brawijaya yang dibuang olehnya sehingga membekas sebagai gundukan tanah yang
kini juga di yakini masyarakat sebagai makam keramat. Untuk prosesi dalam
menghormati tempat keramat senthana duwur
menurut narasumber Marto Paimin sama persis seperti yang di terangkan oleh
Atmo Ngadiyo, yakni dengan prosesi sesaji guwak-guwak.
BAB
III
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Kesimpulan dari hasil
analisis oleh peneliti adalah senthana
duwur memang menurut masyrakat sekitar memiliki beberapa sejarah dan asal
mula yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya dari data hasil wawancara terhadap ketiga
narasumber Sunarto, Atmo Diyono dan Marto Paimin dinilai bahwa data dari Marto
Paimin lah yang menurut Peneliti paling mendekati kebenaran dari sejarah senthana duwur. Dikarenakan ia adalah
seorang juru kunci sekaligus tetua dalam masyarakat desa dawung. Namun karena
faktor usia yang sudah lanjut maka di pastikan banyak data yang sebenarnya
penting atau perplu untuk dicantumkan namun hilang karena narasumber yang sudah
memasuki usia lanjut sehingga menjadikannya lupa terhadap informasi-informasi
yang terpenting dari mitos senthana duwur
yang sebenarnya. Sebenarnyapun sebuah mitos tidak kmungkin dibuktikan
kebenarannya. Hanya dapat dipastikan cerita-cerita yang paling mendekati sesuai
bentuk tempat ataupun menurut narasumber yang paling tahu dari tempat tersebut.
Kesimpulan dari asal-usul
senthana duwur secara garis besar adalah bermula dari majapahit. Yakni tempat
persinggahan Brawijaya saat melakukan perjalanan ke tanah suci untuk menunaikan
ibadah haji. Prosesi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk menghormati
tempat tersebut pada setiap tahunnya disebut nyadran dan pada setiap ada orang hajatan juga dilakukan prosesi
upacara adat guwak-guwak. Namun untuk
masa sekarang acara ritual tersebut sangat jarang sekali bahkan tidak pernah
dilakukan lagi menginggat sudah banyak ulama yang muncul di desa dawung. Bahkan
sekarangpun sudah berdiri sebuah pondok pesantren Baitul Qur’an yang memberi
dampak yang besar bagi masyarakat desa dawung. Dampak yang dimaksud bukan dalam
esensi negatif namun dampak tersebut adalah dapat menjadikan masyarakat desa
dawung menjadi taat beribadah dan semakin bertaqwa kepada Allah SWT. Secara
garis besar demikian hasil pengumpulan data oleh peneliti. Mengingat juga
peneliti mendapatkan tiga data yang berbeda.
Mungkin tulisan ini
dinilai belum memenuhi untuk dibaca dan sebagai wacana pe pengetahuan
dikarenakan minimnya pengetahuan oleh penulis atau peneliti. Maka penulis
mengharap sekali jika ada masukan atau kritik dari pembaca terhadap tulisan
ini. Tentu banyak kata ataupun kalimat yang salah ataupun mungkin menyninggung dihati pembaca,
penulis meminta maaf sebesar-besarnya. Harapan terakhir semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan khalayak umum.
LAMPIRAN
Gambar 1: Bentuk dari pohon besar
(pohon sempu) di senthana duwur (Foto
Nurseto Bayu Aji pada 10 Juni 2012, 11:40)
Gambar
2: Dua Makam di senthana duwur yang
kini sudah tidak terawat (Foto Nurseto Bayu Aji pada 10 Juni 2012, 11:40)
DAFTAR
PUSTAKA
Kamus besar bahasa Indonesia
Sunarto (39) Seniman pedalangan, Dk
Garuut Rt 004, Ds Dawung, Kec. Sambirejo, Kab. Sragen
Atmo Ngadiyo (60) Petani, Dk Garuut Rt
004, Ds Dawung, Kec. Sambirejo, Kab. Sragen
Marto Paimin (80) Juru Kunci senthana
duwur, Dk Garuut Rt 002, Ds Dawung, Kec. Sambirejo, Kab. Sragen
[1] Modin
adalah penyebutan oleh orang jawa kepada ulama atau ustadz yang terkemuka di
kampung atau desanya. Seperti dahulu masih zaman kerajaan demak masyarakat jawa
sering menyebut Kanjeng Sunan Kalijaga dengan sebutan modin. Sunan Kalijaga
lebih di kenal dengan sebutan modin karena dahulu masih sangat asing bagi
masyarakat jawa untuk menyebut ustadz.
[2] Keramat disini yang
di maksud adalah sebuah tempat yang suci dan bertuah
yg dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada masyarakat atau orang yang
percaya.
[3] Uang kecil maksudnya
adalah uang rupiah yang memiliki nilai nominalnya kecil. Biasa digunakan oleh
anak kecil untuk membeli sesuatu.
[4]
Ayem tentrem adalah bahasa jawa
yang berarti hidup damai dan tenang Biasa digunakan para pemuka desa atau orangtua
untuk memberikan nasehat terhadap kawula muda dan cucu-cucunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar