Jumat, 30 November 2012

ADEGAN “JEJER” DALAM RINGGIT PURWO ( ETNOGRAFI )


Nurseto Bayu Aji
S1 – Etnomusikologi
11112102
Bayu.seto07@gmail.com
A.    Pendahuluan
Ringgit purwo adalah sebutan lain dari seni pertunjukan wayang kulit. Yakni adalah sebuah kesenian dari daerah jawa yang mementasan berbagai banyak tokoh-tokohnya yang di wakili oleh wayang kulit. Wayang kulit adalah sebuah kulit binatang yang diukir dan dibentuk menyerupai sosok manusia dengan kedua tangan jujutan (diperpanjangkan) yang dapat digerakan serta tubuh yang menghadap menyamping. Biasanya wayang ini terbuat dari kulit binatang sapi atau kerbau karena dinilai serat-serat di dalamnya lebih padat dan banyak membentuk sudut. Oleh karena itu kulit sapi dan kerbau dipilih karena sangat kuat untuk diukir dan di bentuk sesuai keinginan.
Secara visual wujud dari pertunjukan ini adalah dengan menggunakan sebuah layar besar yang dibentangkan menyamping kira-kira berukuran 8 m x 2 m yang disebut kelir. Kemudian dibagian bawah sebagai tempat menancapkan wayang adalah menggunakan debog atau pohon pisang yang di tata bertumpuk atas dan bawah. Pada bagian samping kiri dan kanan kelir ditancapi banyak wayang yang kemungkinan besar tidak digunakan dalam pertunjukan. Wayang-wayang ini disebut wayang simpingan. Pada bagian kanan adalah wayang kelompok pandawa dan para dewa. Hal ini menandakan bahwa sisi baik atau kebenaran ada di bagian kanan. Sisi lain sebelah kiri adalah wayang kelompok raksasa atau buto dan para kurawa. Hal ini menunjukan bahwa sisi jahat atau buruk adalah sisi sebelah kiri. Kemudian selain wayang simpingan tentu ada wayang-wayang pokok yang digunakan dalam pertunjukan. Biasanya wayang ini ditaruh di dalam kotak, di atas kotak dan di atas tutup kotak peyimpanan wayang yang terletak di depan kelir dan di samping kanan kiri seorang dalang. Selain itu untuk penerangannya menggunakan sebuah lampu yang digantung di depan layar dan tepat di atas kepala dalang yang disebut blencon.
 Tentu saja wayang kulit tersebut tidak bergerak sendiri karena sudah pasti adalah benda mati dan tak bernyawa. Wayang kulit di gerakan dan dimainkan karakter suara serta emosinya oleh seorang dalang. Biasanya seorang dalang ini adalah seseoarang yang mahir berbicara dengan bahasa jawa kawi[1] karena dalam pertunjukan ringgit purwo menggunakan cerita-cerita yang di ambil dari kitab atau serat mahabarata dan ramayana yang masih menggunakan bahasa jawa kawi dan jawa kuno. Serat mahabarata dan ramayana sebetulnya merupakan sebuah serat yang lahir dari agama hindu di india. Kedua serat ini memiliki masing-masing cerita yang berbeda. Serat mahabarata adalah sebuah kitab yang menceritakan tentang bagaimana cerita dari kehidupan 5 pandhawa dan 100 kurawa. Cerita ini di mulai dari pertama tokoh prabu arjuna sosrobahu sampai dengan cerita tentang parikesit. Yang kedua adalah serat ramayana, cerita yang terkandung di dalamnya jika di sinkronkan dengan cerita mahabarata cenderung lebih lama atau lebih dahulu dibanding mahabarata. Karena cerita didalam kitab ini intinya adalah menceritakan tentang bagaimana perselisihan antara prabu rama wijaya yaitu sang keturunan dewa wisnu melawan prabu rahwanadiraja. Kedua kitab ini cenderung dikatakan berkesinambungan atau sinkron karena sama-sama di dalamnya muncul tokoh yang sama yakni “anoman”. Anoman adalah sesosok kera yang berwarna putih dan berwujud setengah manusia serta dilengkapi dengan kesaktian yang tak terkalahkan.
Ringgit purwo dalam pementasannya memiliki beberapa runtutan sajian. Yang paling pertama dilakukan sebelum pementasan yakni sajian gending-gending klenengan seperti misal ladrang wilujeng dan yang lainnya, tujuannya adalah sebagai pengisi kekosongan suasana sebelum pementasan dan sebagai sarana menarik perhatian penonton supaya terfokus kepada pementasan ringgit purwo yang akan disajikan. Pada saat masih penyajian gending-gending klenengan ini, seorang dalang sudah duduk di tempatnya di depan kelir atau layar, namun masih menghadap kearah gamelan atau kebelakang pada umumnya. Setelah itu adalah sajian gending talu, disinilah awal dimulainya pertunjukan ringgit purwo karena lewat gending ini, seorang dalang mulai berbalik arah kedepan untuk menghadap ke arah layar pertunjukan. Selanjutnya adalah sajian ringgit purwo, disini awal dimulainya pertunjukan ini. Dalang mulai memegang wayang pertama yang masih ditancapkan pada landasan sebuah pohon pisang di bagian tengah-tengah layar. Setelah itu dimulailah adegan-adegan sesuai cerita yang disajikan. Pada umumnya adegan dalam pewayangan yang pakem ada beberapa urutannya, antara lain (1) bedhol kayon, (2) jejer, (3) kondhur kedathon, (4) limbukan, (5) klumpukan wadya bala, (6) budhalan, (7) perangan, (8) goro-goro, (9) inti cerita atau lakon, (10) perang gagal, (11) pitutur dan tancep kayon. Selain dari urutan pewayangan yang pakem tersebut, juga tidak jarang seorang dalang menambahkan adegan flashback atau mengulang cerita sebelumnya yang sinkron dengan cerita yang akan disajikan. Dari seluruh adegan-adegan tersebut, disini yang akan dibahas oleh penulis adalah tentang adegan jejer. Didalam adegan jejer ini sudah tentu terkandung beberapa unsur yang mendukung antara lain seni rupa, sastra, musik dan situasi sekitar. Maksud dari tulisan ini adalah untuk menjabarkan tentang adegan jejer dan unsur-unsur yang mendukung didalamnya.
B.    Adegan jejer dan tokoh wayangnya
Adegan jejer dalam ringgit purwo adalah satu sajian yang termasuk awal, karena adegan ini disajikan guna mengawali jalannya cerita. Adegan ini merupakan sebuah gambaran seorang raja yang sedang dihadapkan dengan para punggawa kerajaan dan para tamu agungnya. Paseban adalah kata yang cocok untuk mewakili gambaran situasi tersebut. Untuk runtutan masuk serta sikap wayang dalam adegan ini biasanya diawali dengan keluarnya tokoh parkan dari arah gawang bagian kiri dan di tancapkan di bagian tepi sisi kanan dengan posisi tangan ngapurancang. Kemudian keluar seorang raja dari gawang kanan dan langsung ditancapkan di bagian tapi kanan di depan parkan dengan sikap tangan sesuai sifat pokok raja tersebut. kemudian setelah itu keluar satupersatu punggawa kerajaan yang lain spseri patih, senopati dan para tamu agung dari gawang sebelah kiri dengan posisi tangan ada yang ngapurancang namun juga ada yang malangkerik. Adegan jejer ini biasanya dilakukan oleh hanya kerajaan besar dan raja yang tenar dalam cerita pewayangan, antara lain:
1.     Kedaton[2]Astina, Kedaton astina memiliki beberapa masa kepemimpinan raja antara lain ialah Prabu Pandu Dewanata, Prabu Destarastra, dan Prabu Duryudana. dalam situasi paseban agung yang dipimpin oleh Prabu Duryudhana, ia dihadap para punggawa astina yakni Patih Sengkuni, Pendeta Durna, Narpati Basu Karno, dan para saudara kurawanya. Namun tidak semua tokoh kurawa hadir disini, umumnya hanya satu yang hadir yakni Senopati Kartomarmo. Selain para punggawa dan saudara kurawanya, Prabu Duryudhana juga kedatangan satu tamu agung. Tamu agung tersebut pada umumnya adalah satu tokoh pihak pandawa yakni Prabu Baladewa atau jika tidak adalah satu tokoh dari knegeri tanah sabrang yakni kerajaan-kerajaan tempat para raksasa/buto. Dan terakhir tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan. Parkan adalah tokoh gambaran seorang selir atau seorang wanita sebagai pelayan raja.
2.     Kedaton Amarta, dalam adegan ini dipinpin oleh Prabu Puntadewa. Puntadewa ini adalah raja sekaligus kakak tertua para pandawa lima, maka yang hadir dalam paseban ini adalah para saudara pandawanya yakni Arjuna, Werkudara, Nakula dan Sadewa. Selain itu juga hadir tamu agungnya, biasanya adalah Prabu Kresna (dari kerajaan dwarawati) atau Prabu Baladewa. Kadang juga dalam jejer kedaton amarto ini hadir tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, sesuai kebutuhan cerita yang disajikan. Dan terakhir tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan.
3.     Kedaton Dwarawati, Prabu kresna sebagai raja dwarawati dan dihadapkan dengan para punggawa kerajaan. Patihnya adalah udowo dan anak dari Prabu Kresna adalah samba. Selain itu juga hadir tamu agung yang merupakan saudara kandung Prabu Kresna, ia adalah Baladewa. Kadang juga hadir tamu agung lain seperti Arjuna, Werkudara, Petruk atau tokoh pandawa dan punakawan yang lainnya. Selain itu hadir sosok senopati dwarawati yakni Raden Setyaki yang juga merupakan saudara kandung Prabu Kresna. Dan terakhir seperti biasa tokoh yang ikut serta dalam jejer ini adalah tokoh parkan.
4.     Kedaton Kahyangan Jonggrengengsaloka atau suralaya, dalam adegan jejer ini adalah paseban bagi para dewa-dewa. Seorang dewa pemimpin adalah bethara guru. Bethara guru adalah seorang dewa yang memiliki tunggangan seekor sapi dan ia juga dewa yang memiliki tangan banyak. Para seban (sebutan untuk yang mengikuti paseban) adalah para dewa-dewa menurut kebutuhan ceritanya. Dewa-dewa tersebut antara lain Bathara Narada, Bathara Indra, Bathara Yamadipati, Bathara Wisnu, Bathara Bayu, dan masih banyak yang lainnya. Selain itu kadang juga untuk tamu agung yang hadir beraneka ragam menurut jalannya ceritanya seperti misal Semar, Bathari Durga (tokoh jahat yang merupakan istri bathara guru), Arjuna, Bathara kala (anak dari Bathara Guru dan Bathari Durga) serta masih banyak yang lainnya.
Masih Banyak lagi adegan-adegan jejer yang belum terungkap oleh penulis, seperti misal adegan jejer kedaton Ayodya oleh Prabu Dasarata, Ngalengka oleh Prabu Rahwana, Mandura oleh Prabu Baladewa, Maespati oleh Prabu Partowirya, Maespati oleh Prabu Harjunasasra, Lokapala oleh Prabu Dhanapati, Magada oleh Prabu Citrasena, Binggala oleh Prabu Kusumaraja, dan masih banyak lagi adegan jejer yang belum terungkap oleh penulis seperti halnya adegan jejer pada kerajaan-kerajaan tanah sabrang (kerajaan buto), jejer pertapan oleh pendetanya serta jejer ksatrian oleh para satrianya.
C.    Musik dalam adegan jejer
            Adegan jejer selain identik dengan cerita serta tokoh-tokohnya juga terkandung beberapa unsur yang mendukung jalannya pertunjukan. Salah satunya adalah iringan musik oleh ensambel gamelan jawa. Instrument pada gamelan jawa  yang mendukung antara lain ialah kendang, gender, rebab, saron barung, demung, saron penerus, bonang barung, bonang penerus, gong, kempul, kenong, slenthem, ketuk, kempyang dan suling. Tentu setiap instrument tersebut memiliki bentuk, ciri serta kegunaan masing-masing. Dari semua instrument gamelan tersebut, yang paling banyak dan paling menonjol fungsi serta perannya adalah kendang dan gender. Gender memiliki peran yang sangat penting, karena disaat seluruh instrument musik pengiring berhenti dan diam, disinilah peran penting gender untuk menciptakan suasana yang sesuai dengan cerita atau tokoh yang dimunculkan supaya lebih menonjol karakternya. Tak kalah penting fungsinya ialah instrument kendang. Kendang perannya disini adalah sebagai pamangku irama bagi teman-teman instrument gamelan yang lain. Selain itu peran kendang dalam pewayangan ialah sebagai penegas gerakan wayang dalam setiap polang tingkah wayang tersebut. Namun dalam adegan jejer ini peran kendang lebih mengacu hanya pada pamangku irama karena kebanyakan sajian musiknya menggunakan kendang ageng dan ketipung saja.
1.     Sajian gendhing jejer dalam pewayangan yang masih seperti mulanya
            Urutan sajian gending-gending dalam adegan jejer ini untuk pewayangan yang masih tradisi atau masih seperti mulanya adalah biasanya dimulai dengan dodogan dalang 5 kali pada kotak kemudian disambut dengan gending ayak-ayak pathet slendro manyuro kalajengaken ketawang gending kabor minggah ladrang karawitan. Saat disajikannya gending itu secara perlahan dalang mencabut kayon (wayang berbentuk gunung) dari tengah layar dan diletakan di samping sebelah kanan jika hanya satu kayon, kanan dan kiri jika dua kayon atau bahkan satu kayon disebelah kiri dan dua kayon disebelah kanan jika terdapat 3 kayon dari tengah. Setelah itu perlahan masuk para tokoh wayang yang diawali dengan parkan sampai dengan masuknya seorang senopati. Sembari satu persatu tokoh wayang ini masuk, iringan menjadi tipis dan dalang mulai menyenandungkan sebuah janturan tentang profil seorang tokoh yang sedang masuk dari gawang menuju tempat adegan. Setelah itu ketika hampir seluruh tokoh wayang hadir dalam adegan dan masuk senopati, biasanya iringan musik kembali menjadi klimaks dan berubah menjadi gending ladrang laras slendro nem. Setelah itu adalah obrolan para wayang yang hanya diiringi oleh gender menggunakan laras slendro nem. Ketika di tengah adegan biasanya ada seorang tamu dari kerajaan lain datang biasanya diiringi dengan gending sampak laras slendro nem. Setelah adegan jejer ini berakhir, ada satu adegan tambahan yakni kondur kedaton. Adegan ini masih satu rangkaian dengan jejer. Musik yang mengiringi dalam adegan ini menggunakan gending ketawang ataupun ladrang atau juga bisa dengan gending bedayan.
2.     Sajian gendhing jejer dalam pewayangan yang sudah berkembang
Sebetulnya urutan sajian bentuk gending dari iringan musik pewayangan yang berkembang intidak jauh berbeda dengan pada mulanya. Yang membedakan hanya sedikit, antara lain bentuk garapnya. Bentuk garap disini yang dimaksud adalah penambahan adegan sedikit pada bagian awal, yakni adegan flashback atau awal mula sebuah cerita pewayangan bermula. Biasanya adegan ini diwarnai dengan kerusuhan atau peperangan para dewa atau raksasa (buto). Tentu iringannya juga menyesuaikan dengan adegan tersebut. Maka dari sinilah bermunculan para komposer musik karawitan yang mulai membuat serta mengembangkan gending-gending untuk adegan ini.
Selain hal tersebut yang membedakan adalah penggunaan pilihan laras dan pathet lain pada setiap gending yang mengiringi adegan jejer. Terutama pada gending-gending ladrang. Gending-gending ladrang disini mulai menggunakan laras pelog denganh pathet nem, barang, maupun campuran. Dari hal tersebut, sekarang ini juga banyak bermunculan karya-karya baru gending ladrang untuk adegan jejer ini yang menggunakan laras pelog.
Untuk musik dalam adegan jejer ini dapat kita tarik satu garis lurus, bahwa musik dalam adegan jejer lebih menonjol dalam hal fungsi penegas. Maksudnya fungsi penegas adalah sebagai penegas suasana dan gerakan pada setiap tingkah laku wayang.
D.    Sastra dalam adegan jejer
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat” atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu[3]. Bagian dari sastra yang paling menonjol dalam pewayangan adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam pewayangan bukanlah bahasa harian, melainkan bahasa seni atau bahasa sastra. Bahasa yang digunakan dalam pewayangan ini sendiri dapat dikelompokan menjadi 4 yakni (1) Bahasa jawa kuno/kawi yang bercampur dengan bahasa sansekerta, (2) Bahasa jawa baru, (3) Bahasa jawa miring, (4) Bahasa campuran. Sedangkan jika dilihat dari kesastraan, bahasa pewayangan dapat dikelompokan menjadi 3 yakni (1) Bahasa Puisi (iketan), (2) Bahasa prosa berirama (lyris prosa), (3) Bahasa prosa (gancaran)[4]. Bahasa puisi jika dalam pewayangan dapat berwujud sebuah cakepan yakni sulukan, kombangan, celuk serta tembang. Sulukan sendiri dalam kesastraan juga menggunakan beberapa bahasa yakni bahasa kawi, kawi miring, jawa baru dan campuran. Pada umumnya bentuk bahasa pada pewayangan adalah sebuah bahasa prosa berirama yang masih menggunakan sifat-sifat dari tembang dan menggunakan hiasan tembung-tembung kawi, pepindan, paribasan, sanepa, saloka, purwakanthi basa, klimaks dan anti klimaks. Kedudukan bahasa dalam pewayangan ada 2 yakni:
1.     Basa crita (Bahasa cerita) adalah bahasa seorang dalang pada waktu menceritakan keadaan yang dipentaskan dalam pekeliran.
2.     Basa pocapan (Bahasa percakapan) adalah bahasa yang digunakan untuk percakapan para wayang. Bahasa percakapan ini banyak macamnya tergantung sifat dari tokoh wayang masing-masing. Macam dari bahasa ini ialah : ngoko, kawi, madya, krama, bagongan (kraton), dan kasar.

E.    Suasana Audiens
Penonton adalah makhluk hidup yang dapat melihat mendengar dan menikmati suatu pertunjukan seni atau yang lain. Jumlahnya tidak dibatasi, di mulai dari nominal 1 dan seterusnya tanpa batas. Dalam pertunjukan seni pewayangan biasanya jumlah penonton sangat banyak, terutama pada acara peringatan hari besar di sebuah desa. Terutama waktu masih awal-awal pertunjukan dimulai. Namun ketika sudah kira-kira pertunjukan berjalan selama kurang lebih 4 jam, satu persatu penonton sudah banyak yang jenuh dan mulai pulang. Namun waktu masih adegan jejer ini penonton masih banyak dan ini adegan ini merupakan titik fokus pertama bagi penonton karena merupakan awal bermunculannya tokoh-tokoh wayang. Sisi lainnya adalah penonton berisik dan bergemung sendiri pada waktu adegan jejer karena faktor bahasa yang kurang dikuasai oleh orang awam ini. jadi pesan-pesan yang sebetulnya penting yang terkandung dalam pocapan dalang tidak tersampaikan kepada penonton.

DOKUMEN FOTO
Gambar 1 : Adegan jejer Kedaton Astina
REFERENSI:
Marwanto, S.Kar, Apresiasi Wayang, Cendrawasih, Sukoharjo, 2001
Wojowasito, Kamus Jawa Kawi, Surakarta, 1977
Supadmi, S.Sn, Sindhenan Gendhing Iringan Pakeliran Wayang Kulit Purwa Gagarag Surakarta, Cendrawasih, Sukoharjo, 1988
Harghana, Bondan, Serat Ramayana, Cendrawasih, Sukoharjo, 1998




[1] Lihat Wojowasito dalam Kamus kawi – Indonesia, 1977
[2] Istilah lain dalam bahasa jawa untuk menyebut kerajaan
[3] Di unduh dari http://asemmanis.wordpress.com pada 25 November 2012 pukul 22:53
[4] Marwanto dalam Apresiasi wayang, 2001 : 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar