Oleh :
Nurseto Bayu Aji
Etnomusikologi
2011
Sudah
sangat terkenal sekali kalau suku sunda memiliki alat musik yang beragam dengan
cengkok dan irama yang benar-benar khas sesuai kebudayaan mereka. Salah satunya
adalah alat musik atau waditra kendang
yang terdiri dari indung (kendang
besar) dan kulanter (kendang kecil),
yakni alat musik berbentuk tabung yang terbuat dari kayu ( kayu nangka pada umumnya
) dengan tutup tabung terbuat dari kulit binatang ( sapi, kerbau, kambing ). Di
jawa barat sebagai tempat asal suku sunda, alat musik ini biasa di gunakan
dalam kelompok karawitan seperti kliningan, degung, iringan wayang, ketuk tilu,
penca silat, bajidoran, dan sebagainya. Namun kendhang sunda ini ternyata tidak
susuah di temukan di jawa khususnya jawa tengah yakni di wilayah sragen. Bahkan
alat musik ini sekarang sangat lekat dengan musik karawitan di sragen. Masuknya
kendang sunda dalam karawitan gaya sragen berdampak memberi warna musikal yang
baru dalam karawitan gaya sragen yang sekarang sering di gunakan sebagai
pengisi acara hiburan dalam acara adat pernikahan ataupun dalam hajatan
masyarakat jawa yang lain. Lantas apakah kendhang ini sekarang bisa di katakan
sebagai milik masyarakat sragen? Dan bagaimana masyarakat sunda menanggapi hal
yang demikian.
Kendang
indung dan kulanter sekarang sangat melekat dengan karawitan gaya sragen. Hal demikian
terjadi karena tidak sedikit orang sunda yang berdatangan ke kabupaten sragen
atau sebaliknya masyarakat sragen sendiri yang merantau di tanah sunda dan
sudah pulang ke tanah asal, maka secara tidak langsung mereka memperkenalkan
dan bercerita tentang kendang sunda kepada kerabat yang lain. Karakteristik
masyarakat sragen adalah santun (menurut paparan bappeda sragen dalam
bappeda.sragenkab.go.id) maka mereka dapat dengan mudah menerima masukan dan
cerita dari yang lain tentang kendang tersebut, dengan hal demikian secara
inisiatif masyarakat sragen berfikir untuk memasukan alat musik tersebut
kedalam karawitan gaya sragen yang sudah ada dengan kendang jawa sehingga di
ganti dengan kendang indung dan kulanter
yang memiliki karakteristik sama dengan karawitan gaya sragen yakni rampak,
senang dan atraktif. Sehingga secara tidak sadar masyarakat sragen kini lupa
akan asal kendang indung dan kulanter sebenarnya
karena sudah sangat melekat sekali antara alat musik ini dengan musik yang
sedang berkembang di sragen. Tapi mari kita coba berfikir kembali. Seperti yang
sudah penulis rumuskan di atas, jika kendang ini telah bermigrasi ke kabupaten
sragen dan berassimilasi dengan musik karawitan yang berkembang di sana, maka
apakah kendang ini bisa di katakan juga milik karawitan gaya sragen?.
Kendang indung dan kulanter dalam
musik sragenan di mata si pelaku
Menurut
Joko Wahyudi seorang pelaku seni karawitan gaya sragen, ia berpendapat tenetang
kendang indung dan kulanter.
“kendang
indung dan kulanter ini kalau di
sragen sangat berpengaruh terhadap cengkok dan gaya musikal karawitan kami,
maka ya seperti ini lah sragenan (
kebiasaan penyebutan karawitan gaya sragen) sangat identik dengan kendang ini
dan sudah sangat menyatu sekali”.(wawancara pada 6 Juni 2012)
Tapi
ketika ia di tanya “apakah anda sebagai seniman sragen mengakui kendang indung dan kulanter sebagai alat musik
asal kota anda?”
“ya
kalau saya sendiri sebagai seniman yang juga mahaiswa Etnomusikologi di ISI
solo berpendapat bahwa kendang ini bukan milik karawitan sragen. Namun kalau
masyarakat awam di sragen yang belum tahu tentang asal-usul kendang ini pasti
mengira asal-usulnya dari solo ataupun dari sragen sendiri, karena di sragen
kurang begitu populer isitilah indung dan
kulanter ataupun kendang sunda dalam penyebutan alat musik ini dan hanya di
kenal dengan sebutan kendang jaipong”.(wawancara
pada 6 Juni 2012)
Menurut
Joko wahyudi tersebut tentang kepemilikan kendang memang tidak salah karena
faktor utama yang menyebabkan masyarakat awam mengira kendang indung dan kulanter berasal dari sragen
sendiri adalah kurang begitu di kenalnya sebutan indung dan kulanter atau kendang sunda. Kalau saja istilah kendang
sunda populer di sragen pasti masyarakat di sana akan lebih mudah mengenal
asal-usul dari kendang ini yaitu dari sunda karena sudah sangat terwakili dalam
istilah kendang sunda tersebut. Sayangnya hal tersebut tidak terjadi. Maka ini
akan menjadi tugas para etnomusikolog yang melakukan penelitian di daerah
sragen untuk lebih mengenalkan asal-usul dari kendang indung dan kulanter ini. Karena tugas utama etnomusikolog adalah
memperoleh pengertian, sejarah asal-usul, perkembangan, dan persebaran musik
pada berbagai bangsa di dunia (kamus besar bahasa indonesia offline). Istilah penyebutan yang
populer dari kendang ini di sragen adalah kendang jaipong. Padahal jaipong
sendiri adalah salah satu kesenian dari sunda, yang bukan termasuk seni tradisi
melainkan seni kontemporer atau kreasi baru yang berkembang. Definisi jaipong
sendiri seperti yang di kutip dalam forum.kompas.com adalah:
Jaipongan
adalah sebuah genre kesenian yang lahir dari kreativitas seorang seniman
Bandung, yakni Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah
satunya adalah Ketuk Tilu membuat seorang Gugum Gumbira mengetahui dan mengenal
betul perbendaharaan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada
Kiliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, Pencugan, nibakeun
dan beberapa ragam gerak minced dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki
inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama
Jaipongan. (forum.kompas.com di unduh pada 7 Juni 2012).
Memang
benar seperti seni jaipongan sudah sangat di kenal di karisidenan surakarta
termasuk sragen sejak tahun 1988. Seperti yang di paparkan oleh Sardini sebagai
penari jaipong asal sragen. “...ya benar mas, sejak tahun 1992 saya bersekolah
di SMKI Solo, tari jaipong sudah marak dan terkenal di daerah solo raya...”(wawancara
9 Juni 2012). Nah dari sini dapat sedikit di simpulkan bahwa terkenalnya
kendang indung dan kulanter di karisidenan surakarta tak
luput dari peran penting kesenian tari jaipong.
Kendang
indung dan kulanter dalam karawitan gaya sragen masuk kedalam bentuk musik
campursari. Maka musik karawitan di sragen dapat di katakan berkembang. Karena
karawitan di sragen dapat di klasifikasikan menjadi 3 jenis yakni karawitan
tradisi, karawitan sragenan, dan campursari gaya sragen. Namun yang akan di bahas
di sini hanya karawitan sragenan dan campursari gaya sragen. Karena hanya kedua
genre tersebut di sragen yang
menggunakan kendang indung dan kulanter.
Kendang indung dan kulanter dalam karawitan sragenan
Karawitan
sragenan adalah sebuah ensambel kaarawitan yang menggunakan gamelan ageng (sama
seperti karawitan gaya surakarta). Namun dalam hal garap dan cengkok (irama
lagu) sedikit berbeda dari karawitan tradisi. Pada umumnya karawitan sragenan
tidak mengutamakan garap dan cengkok dari wilayah garap (ngajeng) dalam ricikan gamelan jawa yakni rebab, gender, siter,
gambang dan suling (menurut klasifikasi KRT Mloyo widodo) atau bahkan juga
vokal sindenan tradisi. Yang di tonjolkan dari karawitan sragenan adalah justru
wilayah Balungan (saron barung, demung, bonang, saron penerus, slentem) dan
kendang dari gamelan jawa. Mengapa demikian, hal ini terjadi karena
gending-gending atau lagu yang di sajikan oleh karawitan sragenan adalah
lagu-lagu yang memiliki karakteristik rampak, senang dan atraktif terutama
menonjol pada jenis wilayah balungan
sebagai melodi utama hampir dalam setiap lagu sragenan. Dan karena fenomena
maraknya musik campursari sekitar awal tahun 2000 oleh Manthos (pelopor musik
campursari) yang juga beriringan dengan perkembangan seni jaipong, ternyata
kedua fenomena ini sangat berpengaruh terhadap musik karawitan di sragen.
Terlihat dari seni karawitan di sragen mulai di masuki dengan unsur-unsur musik
barat seperti keyboard, bass (awal
2000) serta kendang indung dan kulanter yang mulai diperkosa dalam hal
cengkok oleh para pelaku seni di sragen. Seperti cengkok yang sangat populer
adalah cengkok-cengkok dalam sekaran
kendang ini. Biasanya banyak sekaran dari
kendang wayangan atau bahkan dari kendang reog atau kesenian tradisi lain yang
di adopsi kedalam kendang indung dan kulanter sesuai bunyi dan gaya nya yang
tidak banyak di rubah.
Dalam
hal cengkok masyrakat sragen mealukukan sedikit pemahan yang salah tentang
tabuhan yang sesungguhnya dari kendang ini. Dalam tabuhan kendang ini
sesungguhnya tidak ada bunyi dlang tetapi
yang ada adalah bunyi mberebang. Sehingga
banyak pendapat dari masyarakat tentang fenomena ini dan semua tentu berbeda.
Ada yang mengatakan hal ini salah karena menyalahi tradisi awal tabuhan yang
pokok dari asal daerahnya (ini kesimpulan penulis menurut beberapa orang pelaku
atau ahli dalam kendang sunda). Namun ada juga yang mengatakan hal ini tidaklah
perlu di jadikan masalah karena justru dengan adanya pola tabuhan baru ini,
justru akan menambah kekayaan dari pola kendang indung dan kulanter. Dan
juga hal seperti demikian akan membedakan mana musik sunda dan mana musik khas
sragenan (hasil analisis penulis dari wawancara Joko Wahyudi pelaku karawitan
sragenan). Maka dari kedua pendapat berbeda di atas penulis dapat menyimpulkan
bahwa sah bila masyarakat sragen melakukan perubahan terhadap pola tabuhan
kendang indung dan kulanter. Namun hal ini lazim di lakukan bila dimainkan
di daerah asal dan masyarakat sragen tidak mengaku kepemilikan kendang ini. Dan
tidak boleh masyarakat sragen atau siapapun memainkan kendang indung dan kulanter di jawa barat sebagai tempat asalnya menggunakan pola
sragenan. Kenapa hal demikian tidak diperbolehkan? Sebenarnya bukan berarti
tidak boleh sama sekali namun mungkin untuk acara festival seni atau kreasi
muaik baru boleh. Yang tidak boleh yakni misal bila di gunakan dalam hiburan
atau pesta rakyat yang menggunakan sseni tradisi. Karena tidak sedikit tentu masyrakat
jawa barat yang akan tidak suka dan marah melihat alat musik asal daerahnya di
mainkan dengan pola dan gaya yang tidak sesuai oleh masyarakat yang buka asal
daerah si alat musik.
Kendang indung dan kulanter dalam campursari gaya sragen
Musik
campursari memang bukan musik asli daerah sragen. Genre musik ini adalah hasil
dari percampuran musik bernada pentatonik (gamelan jawa) dan musik bernada
diatonic dari art barat. Pada umumnya ensembel musik campursari ini terdiri
dari alat musik saron barung, demung, gender, siter, kendang jawa, kendang
sunda, kendang india, drum, bas, gitar, keyboard,
cak, dan cuk. Dari susunan alat musik tersebut maka musik campursari memiliki
karakteristik senang dan rampak. Namun seiring berkembangnya jaman, alat musik
di dalam campursari berkembang dengan masuknya biola, saxophone, trompet,
trombone dan jenis alat orkestra lainnya. Dengan masuknya alat musik tersebut
secara otomatis akan mempengaruhi karakteristik dalam musik campursari. Karena
dengan masuknya biola akan memberikan kesan yang lebih lembut dan romantis.
Saxophone dan alat tiup lainnya memberikan nuansa lebih semangat dan tegas.
Walaupun
masuknya alat-alat musik tersebut yang memberikan nuansa baru dalam musik
campursari namun ciri khas kendang indung
dan kulanter tidak hilang dan
masih tetap menonjol dalam musik campursari. Seperti musik campursari dari grup
‘tri tunggal’ dari colomadu yang membawakan genre campursari sragenan. Grup
campursari yang dipimpin oleh Agus jolodhong ini sedikit berbeda dengan
campursari sragenan lainnya karena walaupun musiknya sudah terkontaminasi
dengan masuknya biola dan saxophone tapi peran kendang indung dan kulanter masih
menjadi tokoh utama dalam grup ‘tti tunggal’.
Kesimpulan
Dari
berbagai pemaparan tentang kendang indung
dan kulanter di wlayah sragen
yang telah di bahas tersebut, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal yakni (1)
Kendang indung dan kulanter mulai di kenal dan masuk dalam
musik sragenan sejak mulai di kenalnya kesenian tari jaipong, (2) pengakuan
masyarakat awam di sragen tentang kepemilikan kendang indung dan kulanter di
karenakan bertambahnya tahun yang mengakibatkan semakin di lupakan bagaimana
asal-usul kendang indung dan kulanter sebenarnya dan kurang di
kenalnya istilah kendang sunda dalam kehidupan masyarakat sragen, dan (3)
kendang indung dan kulanter sangat berkembang di sragen
dalam jenis musik karawitan dan campursari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar