Selasa, 22 Januari 2013
Senin, 21 Januari 2013
ALLEGRO SANAPARANE INDONESIA REPERTOAR
Allegro Sanaparane Indonesia Ethnic Music Ensemble Percussion Perform with repertoar:
Dalam bermusik, Allegro Sanaparane Indonesia
telah melahirkan beberapa karya dengan masing-masing memiliki konsep yang
berbeda-beda. Idiom utama dalam melahirkan karya adalah dengan mengadopsi
musik-musik dari karawitan jawa yang dikolaborasi dengan musik dari daerah lain
di nusantara dan seluruhnya dikemas menjadi satu kedalam bentuk musik ensambel
gamelan perkusi. Karya-karya Allegro Sanaparane Ensemble adalah:
v Gilak Gongso
Gilak Gongso merupakan karya pertama
dari Allegro yang masih menggunakan format gamelan ageng dengan ritmis perkusi.
Dengan ricikan instrument 2 saron, 2 demung, bonang barung, kendang ciblon, gender,
vocal, doll, 2 dog-dog besar, 2 dog-dog kecil, jimbe dan tom drum set. Karya
ini merupakan sebuah karya musik beralur runtut.
v Gambyong 7/8
Karya musik gambyong 7/8 merupakan awal
dari konsep Allegro yang sampai sekarang masih tetap dipakai yakni dengan
menggunakan instrument musik 2 saron, demung, 2 dog-dog, tom drum set, bass,
vokal, dan saxophone. Gambyong 7/8 merupakan sebuah karya yang diadopsi dari
repertoar iringan tari gambyong pareanom. Namun disini karya gambyong oleh
Allegro dikemas sedemikian rupa sehingga sangat berbeda dengan bentuk musik
aslinya. Karya gambyong ini juga merupakan sebuah karya yang sangat menjunjung
tinggi sebuah konsep yakni dengan sinopsis:
Gambyong merupakan sebuah nama tari
tradisi dari Surakarta dengan iringan musik khas dalam sajiannya. Tari gambyong
memiliki esensi kelembutan, keharmonisan, dan keluwesan seorang wanita.
Paradigma lain juga berpendapat gambyong menggambarkan seorang wanita yang
sedang bermacak atau berdandan. Pemaparan sifat khas kaum hawa disajikan dalam
tarian gambyong pada umumnya.
Gambyong oleh khayalan Allegro
merupakan manifestasi dari unsur sifat,
watak, pribadi lelaki yang diberikan tuhan berupa keperkasaan, kelincahan,
ketegasan, dan segala unsur pembentuk jati diri kaum adam. Dalam sajian musik
“gambyong” Allegro merupakan sebuah mimpi, khayalan, angan-angan tanpa batas
tentang esensi seorang wanita dalam tari gambyong yang di refleksikan melalui
langgam ngimpi sebagai pembuka karya. Keperkasaan, kelincahan, dan jati diri
kaum adam diperlihatkan dari output musik yang di garap secara tegas, tempo
cepat, serta ketukan yang menstimulan rasa semangat membara dalam setiap jiwa
lelaki.
v Ibu Kita Kartini
Karya ibu kita kartini merupakan karya
ke-3 dari Allegro. Karya ini sengaja dibuat untuk keperluan pentas pada acara
HUT taman Balekambang Surakarta yang menyuguhkan tema Hari Kartini. Krya ini
sebetulnya hanya merupakan potongan-potongan dari karya pertama yang di adopsi
dengan formasi musik seperti karya gambyong dan di tambah dengan melodi dari
lagu ibu kita kartini yang di ulang dan bersifat rampak perkusi.
v Metamorfosa
Karya ke-4 dan paling berhasil menurut
Allegro adalah metamorfosa ini. Metamorfosa berasala dari kata Metamorfosis
yang mempunyai arti perubahan bentuk atau susunan. Hal ini tergambar dari
instrument saron pada karya ini yang melalui masa perubahan dari sudut pandang
fungsi dan tugas nya. Fungsi dari instrument saron sendiri awalnya adalah
sebagai instrument BALUNGAN atau instrument MELODIS namun disini Allegro
mencoba merubah fungsi saron dari fungsi utamanya sebagai instrument MELODIS
menjadi instrument RITMIS bahkan sampai menjadi instrument HARMONIS.
Metamorfosa sengaja dibuat dan di
sajikan untuk pertamakalinya dalam acara Dies natalis Institut seni Indonesia
Surakarta yang ke-48. Dalam karya ini instrument saron dii ibaratkan seperti
halnya ISI Surakarta yang sudah sejak 48 tahun mengalami perkembangan dan
perubahan yang semakin maju. Yakni sejak masih berjuluk ASKI (Akademi Seni
Karawitan Indonesia) sampai dengan sekarang menjadi ISI (Institut seni
Indonesia) Surakarta.
Sabtu, 19 Januari 2013
PROSES
TRANSFORMASI MUSIK FUSION TERHADAP BENTUK LADRANG DALAM IRINGAN PEWAYANGAN:
STUDI KASUS LADRANG DATANGLAH
Nurseto
Bayu Aji
11112102
Latar belakang
Fusion adalah salah satu sub-genre dari musik jazz. Jenis musik ini dianggap
paling berbeda diantara seluruh sub-musik jazz[1].
Asimilasi musiklah yang membedakan itu. Fusion merupakan percampuran antara
musik jazz dan musik rock. Namun musik jazz masih tetap mendominasi pada fusion
karena nuansa-nuansa akord dari ciri khas musik jazz serta improvisasinya masih
sangat kental. Dan kesan ritmik dari musik rock yang sedikit mendominasi. Maka
dari itu musik fusion memiliki keunikannya sendiri jika dilihat dari bentuk
musikalnya.
Sekitar tahun 30an musik fusion dan jazz
yang lain masuk ke Indonesia. Sudah diketahui bahwa indonesia merupakan negara
dengan kekayaan musik etnik yang melimpah. Oleh hal demikian musik fusion di
indonesia mulai berassimilasi dengan alat ataupun ensambel musik etnik
Indonesia. Perkembangan musik ini sangat pesat. Salah satunya adalah di pulau
Bali. Tengok Kulkul band. Band ini adalah salah satu kelompok musik yang
mengusung genre musik etnik fusion.
Formasi dari kukul band ini adalah: (1) Demas Narawangsa pada alat musik drum,
(2) Awan pada alat musik bass, (3) Didiet pada alat musik biola, (4) R.M Aditya
pada alat musik keyboard, (5) Faisar Fasya pada alat musik gitar, (6) Ketut
Budiyasa pada alat musik kendang, suling, ceng-ceng kopyak, kulkul, gangsa pemade,
(7) Wayan sudarsana pada alat musik gangsa kantilan, ceng-ceng kopyak, kulkul,
(8) Wayan sudiyarta pada alat musik ceng-ceng, ceng-ceng kopyak, gangsa
kantilan, kulkul, (9) Kadek setyawan pada alat musik gangsa pemade, ceng-ceng
kopyak, kulkul. Dilihat dari struktur alat musik kulkul tersebut, mereka dapat
menghasilkan karya-karya yang unik dengan ciri khas mereka sendiri. Salah satu
karya mereka yang paling unik ialah lagu “Datanglah”.
Datanglah dinilai karya paling populer
karena jika dilihat dari www.myspace.com/kulkulband, karya ini menduduki posisi
pertama dari seluruh karya kulkul yang lainnya. Dan karena kepopulerannya,
karya ini sampai dikenal dan berkembang dikalangan musik karawitan jawa. Hal
ini terlihat dari sebuah karya berjudul “Ladrang Datanglah”. Karya dari Dwi
Hatmanto Nugroho S.Sn ini berbentuk musik ladrang yang biasa digunakan dalam
iringan musik pewayangan pada adegan jejer.
Melodi utama pada ladrang datanglah yang dimainkan oleh biola atau bonang tidak
berbeda dengan dengan melodi utama pada karya datanglah yang dimainkan juga
oleh biola. Hal ini dikarenakan memang inspirasi pertama dari penciptaan karya
ladrang datanglah berkiblat pada karya datanglah.
Proses transformasi musik adalah yang
terjadi pada ladrang datanglah. Dikatakan transformasi musik karena terjadi
perubahan struktur musik etnik fusion terhadap bentuk ladrang pada karawitan
jawa dengan menambah, mengurangi pada pilihan alat musik serta bentuk
musikalnya. Perubahan bentuk musikal sudah sangat terlihat sekali dari musik
etnik fusion yang dimainkan dengan bentuk ensambel band dan gamelan bali
dipindah terhadap bentuk ensambel karawitan gamelan ageng jawa. Penambahan dan pengurangan juga terlihat dari ladrang
datanglah. Terjadi penambahan alat musik biola dan alat jenis brass pada
gamelan ageng. Pengurangan dangan tidak memakai alat musik gender, rebab,
suling, siter dan gambang. Hal tersebut dikarenakan ladrang datanglah hanya
menggunakan irama 1 pada ladrang (tempo cepat).
Transformasi pada ladrang datanglah
dipilih oleh peneliti karena dianggap sebagai hal yang unik. Konsep dasar dari
unik sendiri adalah tidak ada yang sama atau lain dari pada yang lain.
Tarnsformasi pada ladrang datanglah merupakan satu gebrakan yang baru bagi
dunia musik karawitan dan iringan pewayangan pada khususnya. Sehingga sangat
dimungkinkan hasil dari penelitian ini akan bermanfaat sebagai wacana tentang
musikal atau perkembangan musik nusantara. Bermanfaat sebagai wacana
perkembangan musik nusantara karena fenomena transformasi musik ini merupakan
salah satu contoh problematika musik di nusantara yang muncul akibat musik
barat yang berakulturasi dengan musik nusantara selanjutnya bertransformasi
terhadap musik etnik nusantara yang lain. Manfaat lain ialah sebagai wacana
musikal. Hal ini akan terlihat dari bagaimana proses transformasi musikalnya.
Tentu akan panjang dan lebar proses tersebut mengingat hal yang terjadi adalah
transformasi musik fusion terhadap musik bentuk ladrang. Sehingga dari proses
pentransformasian musik tersebut akan menjadi sebuah ilmu baru atau sekedar
apresiasi dalam pengaransemenan atau penciptaan sebuah karya pada dunia
akademik. Pemaparan tentang harapan peneliti tersebut merupakan sebuah
instrument dasar yang digunakan sebagai menentukan obyek formal serta material
dalam penelitian ini.
Hal
menarik lain ialah jika kita melihat dampak yang terjadi akibat hasil
transformasi tersebut. Dari sisi musikal mengalami metamorfosis bentuk lagu.
Dugaan sementara adalah jika dilihat dari sisi alat musiknya. Pada karya asli
menggunakan alat musik yang bersifat modern dalam arti elektrik sebagai
pengokoh struktural musikalnya. Setelah mengalami transformasi beralih terhadap
alat musik tradisional dalam arti akustik. Yakni menggunakan gamelan jawa yang
hanya tebal dalam melodinya namun kurang kokoh pada strukturalnya yang jarang
terdengar bunyinya. Namun mengingat kembali bahwa pada kedua karya asli maupun
hasil transformasi terdapat satu alat musik yang sama sebagai melodi utama
yaitu biola. Biola ini terdapat di tengah-tengah kumpulan gamelan jawa ini
semakin menguatkan bahwa juga terjadi proses akulturasi di dalam transformasi
musik datanglah. Sehingga peneliti memiliki dugaan bahwa dampak yang terjadi
setelah terjadi proses transformasi pada
karya datanglah ini ada dua yakni dampak positif dan negatif. Dampak positifnya
dari transformasi musik ini adalah semakin membuat musik karawitan jawa mwnjadi
lebih luas jangkauan penikmatnya. Maksudnya adalah dengan masuknya instrument
barat seperti biola ini menjadikan sensasi yang berbeda dan memiliki warna baru
bagi musik karawitan jawa. Namun secara musikal jawa dampak dari transformasi
musik ini sedikit menurunkan kualitas karawitan dalam bentuk ladrang khusunya.
Karena ladrang datanglah hanya menggunakan irama 1 (tempo cepat) dan tidak ada variasi
dalam konteks irama yang lain. Dan mungkin anggapan dari pelaku karawitan
tradisi, ini merupakan sesuatu yang di anggap merusak tradisi.
Dari data dan dugaan-dugaan di atas,
akan muncul banyak persoalan yang dapat dikaji oleh peneliti berdasar data
asal-usul ladrang datanglah serta manfaat penelitian tersebut. Diantaranya
adalah mengenai teks musikalnya, alasan pemilihan karya asal untuk di
transformasi, proses transformasi serta dampak secara kualitas musikalnya.
Komposer karya ladrang
datanglah
Ladrang datanglah adalah sebuah
karya yang terbesut dari seorang komposer muda bernama Dwi Hatmanto Nugroho
S.Sn. Selain profesinya sebagai komponis dalam musik tradisi-gamelan jawa, ia
juga merupakan seorang pelaku kesenian tradisi sebagai seorang dalang wayang
kulit dan kadang juga sebagai pemain kendangnya. Justru kendang wayang lah yang
pertama ia tekuni sejak masih duduk di bangku smp. Awalnya dulu ia adalah
seorang anak kecil yang gemar menonton pertunjukan wayang kulit klasik. Yang
sering ditonton adalah dalang Sujarno dari wonogiri. Di daerah asal hatmanto di
baturetno, wonogiri ini dulu sering sekali disajikan pertunjukan wayang kulit
dalam acara hajatan atau peringatan hari besar lain. Walaupun hatmanto ini
gemar menonton wayang kulit, namun ia lama kelamaan mengalami kejenuhan
terhadap musik iringan wayang ini. Karena dulu sewaktu kecil hatmanto, iringan
wayang masih menggunakan gending-gending klasik tradisi jawa khusunya
adalah dari mangkunegaran. Hanya ada satu gending
kreasi yang sering dibawakan, ini juga merupakan gending dolanan karya Narto Sabdo yang berjudul goyang semarang.
Berawal dari seorang pengendang
wayang di waktu smp, mulanya ia hanya menggantikan posisi kendang pada waktu manyura yakni pada waktu bagian akhir
pertunjukan wayang. Sejak smp memang hatmanto ini sudah sering mengikuti pentas
wayang kulit yang di ajak oleh pamannya yang juga merupakan seorang pengendang
wayang. Dampak dari ia kecil sudah ikut mengiringi wayang ini adalah sampai
sekarang gending-gending klasik yang
dulu seringa ia dengar masih termemori dengan baik di benaknya. Padahal sewaktu
kecilnya ia sering dimarahi oleh ibunya. Wajar menurut hatmanto jika seorang
ibu sering memarahi anaknya. Karena itu merupakan satu bentuk rasa sayang dan
kekhawatiran ibu terhadap anaknya. Tapi tetap saja hatmanto takut dan trauma
ketika teringat sedang dimarahi ibunya. Hubungan dari kedua hal tersebut adalah
ketika hatmanto kini mendengar gending-gending
klasik tradisi, ia akan teringat lagi tentang ibunya dulu yang sering
marah-marah. Dampaknya adalah ia sering menangis dan rindu akan ibunya
tersebut.
Mulai dari permasalahan tersebutlah
hatmanto mulai memutuskan untuk merubah kesan iringan wayang yang menggunakan gending tradisi klasik. Awal dari
usahanya ini selain terinspirasi dari kenangan terhadap ibunya, juga ia semakin
terdorong dengan adanya kontemporarisasi oleh para dalang yang di anggap
progresive seperti Manteb Sudarsono dan Sujiwo Tejo. Kedua dalang ini menurut
hatmanto merupakan seorang tokoh bagi dunia pewayangan yang berani melakukan
perubahan baik dalam cerita, tokoh pewayangan dan musik iringannya. Fokus
terhadap iringan musiknya, dari kedua dalang ini memasukan unsur alat musik
barat seperti biola dan terompet ke dalam karawitan jawa. Selain itu mereka
juga memainkan dinamika musikal melalui hentakan kendang dan keras lirihnya
tempo maupun volume musik.
Hatmanto sangat mengidolakan kedua
tokoh tersebut. selain itu ia juga merupakan penggemar musik orkestra yang
penuh diwarnai dengan dinamika permainan. Oleh sebab itu kini hatmanto banyak
berkarya yang berinfluence dari musik
orkestra namun bermedium gamelan jawa. Awal dari karyanya dulu hanyalah ia ikut
menambahi bagian karya musik dari dalang Entus sewaktu ia masih ikut di
dalamnya sekitar tahun 2000. Namun ketika tahun 2009 awal ia mulai merintis
karya tunggalnya yang diwadahi oleh kelompok Wayang Dugem. Wayang dugem ini
adalah kelompok yang dipimpin oleh dalang Mario dan yang di konsep pertamanya
adalah Yati Pesek. Yati Pesek disini hanyalah sebagai pengkonsep saja, apa lagi
Mario juga hanya yang mendanai. Seluruh karya iringan wayang dugem yang
menggunakan full combo band dan instrument balungan ini adalah hatmanto
sendiri. Mulai dari proses karya pada wayang dugem ini lah hatmanto mengaku
bertemu dengan anak-anak dari SMK Negeri 8 (SMKI) Surakarta yang menurutnya
berpotensi tinggi. Salah satunya adalah pemain biola yang bernama Prisha
Bashori. Prisha adalah pemain biola jebolan dari SMKI Solo. Dari Prisha inilah
hatmanto mulai kenal dengan musik-musik barat yang progresive seperti misal
musik dari kelompok Dream Theatre atau Kulkul dari indonesia sendiri.
Banyak lagu dari kulkul ini yang sering
dimainkan oleh prisha ketika latihan atau ketika ia masih menginap di rumah
hatmanto. Mulai dari hal inilah hatmanto terinspirasi untuk mencoba memasukan
unsur keunikan musik dari kulkul kedalam karya-karyanya. Seperti misal karya
dari kulkul yang berjudul Bali Dance. Karya tersebut mulai ia otak-atik dengan
menurunkan temponya dan dimainkan dengan ensambel campursari, maka jadilah
sebuah musik Opening campursari untuk kelompok musik Tri Tunggal dan CJDW. Hal
tersebut belum menjadi keunikan dari hatmanto. Yang lebih unik dan ekstream lagi ialah ketika ia mencoba
memasukan karya dari kulkul yang berjudul Datanglah kedalam musik iringan
wayang menggunakan medium gamelan jawa seperti tujuan utama hatmanto.
Pembahasan tentang datanglah gubahan dari hatmanto ini tentu akan panjang lebar
dan akan dipaparkan dalam sub-bahasan selanjutnya ini.
Proses transformasi datanglah
menjadi ladrang datanglah
Seperti yang sudah dikemukakan
didepan bahwa kiblat inspirasi pencipataan ladrang datanglah adalah dari karya
datanglah. Oleh hatmanto, pertama ia terinspirasi oleh datanglah karena ia dulu
sering mendengar karya ini yang dari alat pemutar musik atau mp3. Selain itu
juga dari Prisha yang sering melantunkan melodi dari datanglah ini di depan
hatmanto. Oleh karena itu hatmanto mulai terinspirasi untuk mengolah melodi
datanglah tersebut menjadi satu buah musik yang lain. Namun awalnya ia masih
mengalami keraguan dalam pembuatannya. Mau dibuat musik semacam apa datanglah
ini supaya berbeda dengan yang asli dan manjadi musik yang baru.
Tak lama untuk menjawab keraguan
hatmanto ini, ibarat turunlah sebuah wahyu anugerah. Wahyu tersebut turun lewat
seorang dalang muda yang bernama Danang. Danang merupakan salah satu anak dari
Dalang idola Hatmanto yakni Dalang Manteb Sudarsono. Danang akan mengadakan
pentas di kota Blora namun ia berkeinginan untuk memberikan sebuah sajian
wayang kulit yang megah, baru dan kekinian namun masih tetap dengan konsep
tradisinya. Disini Hatmanto sebagai komposer musik yang di sambati oleh Danang untuk menggarap iringan wayangnya. Karena hal
ini sesuai dengan misi Hatmanto untuk membuat nuansa baru dalam iringan
pewayangan. Maka hatmanto menerima titah dari
Danag ini untuk membuat iringan pewayangannya.
Hatmanto menggarap hampir seluruh
iringan wayang Danang mulai dari adegan pertama hingga waktu menjelang pagi
saat pementasan. Mulai dari proses ini pula hatmanto memiliki ide untuk
memasukan Datanglah kedalam salah satu musik iringan. Pada awalnya ia ragu
apakah bisa hal tersebut terwujud?. Pikirnya selalu bertanya-tanya seperti itu.
Namun karena ia melihat teman-teman yang sangat semangat pada waktu proses
latihan, ia yakin bahwa hal tersebut akan terwujud. Apalagi dengan ia setiap
hari mendengar lantunan melodi datanglah oleh prisha pada gesekan biolanya.
Terakhir ia memutuskan untuk mencari nada-nada seleh nya dahulu dari bentuk melodi biola ini. Proses ini merupakan
proses dasar dari penciptaan ladrang datanglah. Akhirnya ketemu bentuk dari seleh balungannya. Kemudian dari sekedar
balungan seleh ini hatmanto
mengembangkannya menjadi bentuk balungan mlaku.
Kemudian ia melakukan pengujian pertama dengan mengemixkan balungan mlaku tersebut dengan melodi datanglah
yang dimainkan bersamaan. Akhirnya terbentuk komposisi pertama ladrang
datanglah.
Secara bentuk ladrang, komposisi
datanglah sudah terbentuk. Namun hatmanto masih berfikir komposisi tersebut
masih kurang dan belum ada rasa yang kuat. Kemudian setelah ia berfikir ulang
terus menerus, ketemu tentang konsep kendang khas jogja yang akan digunakan
dalam komposisi itu. Tak tanggung pula, ia memasukan unsur vokal yang sesuai
balungan gending dari ladrang datanglah ini.
Jejel riyel
Rapet
pipit tumpang dhengkul
Lenggah iro tan selo
Tidhem
tannyabowo
Banyak
dhalang
Kacumas
dwipanggo
Sayekti
amuwuhi
Asri
renggeping kang panangkilan
Syair
vokal tersebut dibuat menyesuaikan fungsi dari komposisi ladrang datanglah pada
awal penciptaannya sebagai iringan pewayangan saat adegan jejer kedaton. Oleh sebab itu pemilihan kata-kata menyesuaikan
dengan situasi jejer kedaton. Situasi
saat itu adalah seorang raja yang duduk di singgasananya sedang melakukan paseban agung dengan menghadap para
punggawa kerajaan serta tamu kehormatan dari kerajaan lain. Suasananya
mencerminkan suasana yang skral dan agung. Oleh sebab itu hatmanto memasukan
unsur barat berupa alat musik tiup brass dan unsur dinamika musik barat berupa
hentakan-hentakan ritmis yang ditonjolkan seperti layaknya musik ensambel orchestra.
Setelah ia memasukan melodi brass dan
dinamika orchestra dalam komposisi ladrang datanglah, maka jadilah komposisi
ladrang datanglah seperti yang terdengar saat ini. Pertama kali dipentaskan
pada pentas wayang kulit oleh dalang Danang putra Manteb Sudarsono di kabupaten
Blora, Jawa Tengah pada acara pesta rakyat. Setelah pementasan waktu itu,
sebenarnya hatmanto belum puas dengan komposisi ladrang datanglah racikannya
ini. Hatmanto bermaksud untuk menggarap kembali ladrang datanglah ini, namun
karena hubungan kerjanya yang baik dengan banyak relasinya, komposisi ladrang
datanglah digunakan dalam banyak pentas seperti dalam bentuk campursari,
upacara pengantin jawa dan banyak lagi. Karena hal tersebut, komposisi ladrang
datanglah tidak jadi digubah kembali dan komposisi ini sudah terlanjur
dipatenkan.
Informan
Dwi
Hatmanto Nugroho S.Sn (35) dalang wayang kulit, pemain dan komposer musik
PANTASKAH “CING
CANG KELING” PADA PERMAINAN ANAK – ANAK?
Nurseto Bayu Aji
11112102
Latar belakang masalah
Sunda adalah satu daerah budaya yang
kaya akan kesenian, apalagi tentang tembang
atau lagu-lagunya. Sampai detik ini jenis tembang sunda yang paling pesat perkembangan serta eksistensinya
ialah pop sunda. Pop sunda menjadi demikian dikarenakan kandungan lagu serta
ritmis-ritmisnya bersifat easy listening sehingga
mudah dicerna oleh gendang telinga penikmat musik. Satu level dibawah pop sunda
yang juga masih terjaga eksistensinya ialah tembang cianjuran dan kekawih.
Kedua jenis tembang tersebut bersifat
sama karena dilihat dari struktur musikalnya masih sangat kental dengan musik
tradisi sunda yang berlaras pelog,
salendro dan madenda. Otomatis
dengan demikian jenis tembang ini
akan tetap ada dan masih sering dipakai karena bersifat tradisi dan tradisi
tersebut tak mungkin luput dari sebuah kebudayaan atau adat. Maksudnya adalah
sudah barang tentu jika tembang ini adalah bagian dari kebudayaan masyarakat
yang akan tetap dipakai pada setiap upacara adat, seperti misal pernikahan.
Jika kita berbicara kenyataan hanya itulah sekarang tembang yang masih hidup di sunda. Mungkin juga masih ada jenis tembang lain yang terekspose, namun itu
pasti hanya dalam kegiatan festival budaya. Tengok pada jenis tembang yang digunakan pada permainan
anak-anak tradisional. Hampir tidak ada lagi anak-anak zaman sekarang yang
memainkan hal tersebut.
Jika melihat dari sudut pandang
kekinian yang modern, kita pasti hampir melupakan dan menyampingkan tentang
keberadaan permainan anak-anak yang sifatnya tradisional. Permainan tradisional
adalah bentuk kegiatan permainan dan atau olahraga yang berkembang dari suatu
kebiasaan masyarakat tertentu. Pada perkembangan selanjutnya permainan
tradisional sering dijadikan sebagai jenis permainan yang memiliki ciri
kedaerahan asli serta disesuaikan dengan tradisi budaya setempat. Kegiatannya
dilakukan baik secara rutin maupun sekali-kali dengan maksud untuk mencari
hiburan dan mengisi waktu luang setelah terlepas dari aktivitas rutin seperti
bekerja mencari nafkah, sekolah, dsb. Dalam pelaksanaannya permainan
tradisional dapat memasukkan unsur-unsur permainan rakyat dan permainan anak ke
dalamnya. Bahkan mungkin juga dengan memasukkan kegiatan yang mengandung unsur
seni seperti yang lajim disebut sebagai seni tradisional[1]. Seni
tradisional yang dimaksud antara lain adalah iringan musiknya dan lagu atau tembang sesuai ide permainan. Contohnya
di sunda ialah lagu cing cang keling. Lagu itu sering digunakan dalam sebuah
permainan anak kucing-kucingan dan sentuh berlarian. Permainan ini dilakukan dengan
cara ketika ada salah satu anak yang tersentuh oleh anak yang terhitung, maka
anak tersebut yang tersentuh kalah dan harus menyentuh temannya yang lain yang
tak terhitung. Sebelum melakukan permainan ini, salah satu anak yang ikut
bermain menyanyikan dulu lagu cing cang keling[2].
Namun apakah lagu cing cang keling tersebut sesuai dengan tema permainan ini?
dan apakah pantas lagu ini jika ditempatkan pada permainan anak-anak seperti
ini.
Rumusan masalah
Melihat dari latar belakang masalah,
akan banyak pertanyaan mengenai cing cang keling. Karena masih dipertanyakan
tentang kelayakan dan kepantasan tentang lagu ini terhadap permainan anak-anak.
Selain itu juga menarik dan masih dalam konteks permasalahan yang sama jika
kita mengkaji tentang unsur tekstual dan kontekstual dari lagu cing cang
keling. Satu lagi mungkin tentang unsur musikalnya karena akan membantu dalam
pengkajian terhadap tekstualnya. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
dirumuskan kedalam perumusan masalah seperti berikut:
1. Bagaimana
struktur musik cing cang keling ?
2. Apa
makna sebenarnya yang terkandung dari syair lagu cing cang keling?
3. Tepatkah
lagu caing cang keling jika dipakai dalam permainan anak-anak?
4. Dimanakah
tempat yang tepat bagi penempatan cing cang keling?
Struktur musik disertai
makna syair cing cang keling
Cing cang keling seperti sudah
dipaparkan adalah satu bentuk lagu anak-anak. Tentu struktur musiknya akan bersifat
easy listening. Maksudnya ringan dan
mudah diterima oleh khalayak. Biasanya struktur musiknya diawali dengan melodi
kemudian masuk bait lagu A-B. Seperti itu terus struktur urutan musiknya yang
di ulang-ulang. Seperti misal cing cang keling yang dibawakan oleh penyanyi
cilik Cut Mandasari, Celika, Diana, Jeje, dan Cherry. Cing cang keling disini
dibawakan dengan struktur urutan musik seperti yang sudah dipaparkan dan tema
atau genre musiknya adalah ritmis disco 4/4[3].
Tentu jika hanya piur musik disco tidak
akan cocok untuk usia anak-anak yang membawakan maupun yang mendengarkan ini.
Oleh sebab itu disco disini dihasilkan
oleh alat musik keyboard yang menggunakan fasilitas midi. Menurut peneliti
seharusnya lagu yang seperti ini kurang layak jika menggunakan style musik
seperti itu. Mengkin sebaiknya musik yang digunakan adalah alunan musik folk
yang easy listening karena dengan
menggunakan style musik berikut akan sangat pas dengan kehidupan anak. Apa lagi
Cing cang keling sendiri adalah lagu yang sering digunakan dalam permainan
anak-anak.
Mungkin jika untuk kepentingan dunia
industri munggunakan style musik disco karena dinilai energic dan lebih
semangat ini akan semakin menarik bagi anak-anak yang kehidupannya masih pada
karakteristik ceria. Namun perlu dikaji kembali bagaimana eksistensi dari musik
disco[4]
tersebut yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan anak-anak. Disinilah tugas
para komposer dan produser muda yang nantinya akan memproduksikan banyak karya,
harus lebih teliti dan lebih bisa mengkonsep sebuah lagu terlebih dahulu
sebelum memasarkannya. Seperti ujar Sigit astono seorang kepala jurusan
Etnomusikologi pada waktu pentas mahasiswa dosen bahwa selain sebagai
etnomusikolog, nantinya mahasiswa etnomusikologi akan dapat menjadi seorang
produser yang hebat. Jadi siapkan dari sekarang konsep dan materi-materi yang
matang dari sekarang (trankrip pidato Sigit Astono pada 12 Desember 2012).
Lagu cing cang keling ini secara
struktur musik dalam konteks stylenya tidak pas jika diterapkan. Namun tidak
hanya cing cang keling banyak lagu anak-anak lain yang juga menggunakan style
yang sama dan ini sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia.
Padahal pemilihan stlye disco tersebut kurang pas jika kita melihat eksistensi
dari musik disco tersebut.
Makna syair Cing cang
keling
Gambar
1. Notasi cing cang keling, transkrip oleh Nurseto Bayu Aji
Syair
lagu Cing cang keling tersebut menurut Sanghyang Mughni Pancaniti diartikan
sebagai berikut. “Cing cangkeling, cing-cing eling manusia semua. Manuk
(Burung) bisa digunakan sebagai perlambang hati. apa sebabnya? sebab hati
seperti manuk yang bisa terbang kemana saja semau dirinya. Silahkan kamu
rasakan sendiri. Hati kita bisa terbang ke Jakarta umpamanya. Hati tak bisa
dipenjara oleh apa pun, walau pun orang yang sedang dipenjara. Apakah hati
orang yang dipenjara selalu ada di penjara? tidak.! sering hati mereka ada
dirumah, rindu anak istri. Manuk cingkleung cineten, hati yang suka
melirik-lirik ke sekitarnya itu harus tenang. Kalu hati sudah tenang, hati akan
masuk ke kolong langit. Blos ka kolong, dan akan mendapatkan Bapa satar. Satar
artinya dunia. satar berasal dari bahasa sunda kuno, artinya rendah. Silahkan
tanya Kiai, dalam bahasa Arab dunia artinya rendah, adyan. Jadi, satar jeung
dunia merupakan kata yang maksudnya sama. Kalau hati kita sudah tenang, maka
kita akan mendapat dunia yang Bulendeung, yaitu penuh rahmat dan berkah Tuhan.”[5]
Pengartian makna menurut pancaniti
tersebut memang berarti sangat dalam. Ia melihat Cing cang keling sebagai lagu
sunda yang memiliki pesan moral tinggi dan beraspek keagamaan. Bahkan ada satu
konsep tentang hati yang muncul dalam Cing cang keling ini. Burung di
analogikan sebagai hati, hal ini bisa di kuatkan bila kita melihat salah satu
hadits dari Abu Hurairoh
radiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Akan masuk surga suatu kaum, hati mereka seperti hati burung” (HR. Muslim)
maknanya adalah dalam merealisasikan tawakal. Lantas bagaimana Hati burung
tersebut dapat kita lihat pada hadits pula dari sahabat Umar bin khotob
radiyallahu’anhu, bahwasannya beliau mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Andaikan kalian tawakal kepada
Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti
memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan
pulang sore hari dengan perut kenyang” (shahih Tirmidzi, beliau berkata,
‘hadits hasan sohih).[6]
Berarti Pancaniti ini memiliki latar belakang agama yang kuat sehingga ia
sampai sedemikian mengartikan makna Cing cang keling. Sehingga dapt disimpulkan
bahawa makna lagu cing cang keling menurut pancaniti adalah sebuah lagu yang
memiliki pesan moral dan religius yang tinggi terutama dalam membahas perasaan
atau hati.
Jika
menurut pancanita makna syair lagunya sedemikian rupa, maka cing cang keling
merupakan lagu yang beresensi tinggi. Namun pada kenyataan lagu ini hanya
digunakan dalam permainan anak-anak, tepatkah jika posisi begini? Mungkin bagi
anak-anak kecil sendiri makna syair tidak terlalu dihairaukan karena bagi
mereka yang terpenting adalah permainan petakumpet
mereka tetap seru dan resep.
Lain
lagi pengartian makna Cing cang keling menurut seorang etnomusikolog musik
sunda yaitu Denis setiaji. Di dalam ungkapan etnomusikolog yang paham bahasa
sunda ini, ia memaparkan bahwa makna syair Cing cang keling sedikit berbau pornografi.
Kleung ndengdek buah kopi raranggayan
keun anu dewek ulah pati di heureuyan merupakan satu kesatuan bentuk
paparikan yang berarti “ini miliku sendiri, jangan lah kamu ganggu”. Pengartian
tersebut menurut ia dalam lagu Cing cang keling dapat di analogikan seperti
layaknya kekasih atau pacar sendiri dan tidak bolaeh di rebut orang lain. Cing cang keling menurut ia adalah
sebuah kata yang tidak bermakna namun sudah mendaerah. Manuk cingkleung menurut ia bukan nama sebuah burung dan ini
mungkin hanya sebuah kiasan. Ketika menuju syair selanjutnya yakni cindeten menurut ia ini berarti burung
dalam konteks kelamin laki-laki yang mengalami ereksi. Plos kakolong berarti masuk ke dalam kolong, burung ereksi yang
masuk ke dalam kolong, kolong yang dimaksud adalah kolong kaki seorang wanita.
Sedangkan di kolong kaki wanita sendiri terdapat kelamin wanita. Ini berarti
burung ereksi yang masuk ke dalam kelamin wanita, maksudnya adalah hubungan
intim. Bapak satar buleneng, buleneng
yang dimaksud jidatnya lebar. Jidat adalah sebagian dari daerah kepala, jika
kita tarik kesimpulan maka pastilah kepalanya besar pula. Kepala besar identik
dengan metafora yang memiliki arti sombong. Orang yang sombong disini adalah
laki-laki yang memiliki burung ereksi tadi yang dimasukan ke dalam kelamin
wanita. Dengan pernyataan tersebut dapat ditarik pada satu garis bahwa orang yang
melakukan hubungan intim ini adalah orang sombong, sangat dimungkinkan jika
hubungan intim yang dimaksudkan adalah perzinahan. Jika kita melihat pengartian
makna Cing cang keling menurut denis seperti demikian, akan muncul kembali
pertanyaan “Pantaskah lagu Cing cang keling pada permainan anak-anak?”.
Penyikapan
terhadap budaya warisan
Cing
cang keling merupakan lagu permainan anak-anak yang diciptakan oleh masyarakat
atau orang-orang pendahulu dengan tanpa menghiraukan pemaknaannya. Mereka hanya
asal menciptakan kata-kata yang penting mudah diucapkan dan mudah diingat oleh
anak-anak. Begitulah kehidupan masyarakat primitif atau masyarakat pendahulu
kita yang menciptakan sebuah syair lagu dengan banyak makna tersirat. Tidak
mungkin kita akan menyalahkan mereka, karena mau disalahkan pun sudah tidak
mungkin bisa ketemu. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah melestarikan
tradisi kebudayaan yang mereka wariskan dengan cara menata dengan baik
budaya-budaya tersebut. Cing cang keling jika menuruti arti dari Denis Setiaji
sangat tidak patut digunakan pada permainan anak-anak. Namun kita kembali pada
kenyataan sekarang dimana anak-anak pada setiap permainan petaak umpet yang
menggunakan lagu Cing cang keling tidak terlalu menghiraukan makna syairnya.
Jadi masalah pemaknaan tersebut tidak menjadi masalah yang besar yang perlu
diperdebatkan.
[1] Azis, Syamsir, 2001 : 4
[2] www. wikipedia.com pada 19 Desember 2012 ,
9:48
[3] Lihat
www.youtube.com /watch?v=v_l4JQmYdUU
[4] Lihat ngarto
februana dalam http://www.bengkelmusik.com/forum/showthread.php?t=7021
[5] Sanghyang
Mughni Pancaniti dalam http://menjawabdenganhati.wordpress.com di unduh pada
19/12/12 pukul 23:55
[6] Dari artikel 'Seperti Hati
Burung — http://muslim.or.id/aqidah/seperti-hati-burung.html di
unduh pada 15 Januari 2013 pukul 19:52
Langganan:
Postingan (Atom)