Sabtu, 19 Januari 2013


PANTASKAH “CING CANG KELING” PADA PERMAINAN ANAK – ANAK?
Nurseto Bayu Aji
11112102
Latar belakang masalah
            Sunda adalah satu daerah budaya yang kaya akan kesenian, apalagi tentang tembang atau lagu-lagunya. Sampai detik ini jenis tembang sunda yang paling pesat perkembangan serta eksistensinya ialah pop sunda. Pop sunda menjadi demikian dikarenakan kandungan lagu serta ritmis-ritmisnya bersifat easy listening sehingga mudah dicerna oleh gendang telinga penikmat musik. Satu level dibawah pop sunda yang juga masih terjaga eksistensinya ialah tembang cianjuran dan kekawih. Kedua jenis tembang tersebut bersifat sama karena dilihat dari struktur musikalnya masih sangat kental dengan musik tradisi sunda yang berlaras pelog, salendro dan madenda. Otomatis dengan demikian jenis tembang ini akan tetap ada dan masih sering dipakai karena bersifat tradisi dan tradisi tersebut tak mungkin luput dari sebuah kebudayaan atau adat. Maksudnya adalah sudah barang tentu jika tembang ini adalah bagian dari kebudayaan masyarakat yang akan tetap dipakai pada setiap upacara adat, seperti misal pernikahan. Jika kita berbicara kenyataan hanya itulah sekarang tembang yang masih hidup di sunda. Mungkin juga masih ada jenis tembang lain yang terekspose, namun itu pasti hanya dalam kegiatan festival budaya. Tengok pada jenis tembang yang digunakan pada permainan anak-anak tradisional. Hampir tidak ada lagi anak-anak zaman sekarang yang memainkan hal tersebut.
            Jika melihat dari sudut pandang kekinian yang modern, kita pasti hampir melupakan dan menyampingkan tentang keberadaan permainan anak-anak yang sifatnya tradisional. Permainan tradisional adalah bentuk kegiatan permainan dan atau olahraga yang berkembang dari suatu kebiasaan masyarakat tertentu. Pada perkembangan selanjutnya permainan tradisional sering dijadikan sebagai jenis permainan yang memiliki ciri kedaerahan asli serta disesuaikan dengan tradisi budaya setempat. Kegiatannya dilakukan baik secara rutin maupun sekali-kali dengan maksud untuk mencari hiburan dan mengisi waktu luang setelah terlepas dari aktivitas rutin seperti bekerja mencari nafkah, sekolah, dsb. Dalam pelaksanaannya permainan tradisional dapat memasukkan unsur-unsur permainan rakyat dan permainan anak ke dalamnya. Bahkan mungkin juga dengan memasukkan kegiatan yang mengandung unsur seni seperti yang lajim disebut sebagai seni tradisional[1]. Seni tradisional yang dimaksud antara lain adalah iringan musiknya dan lagu atau tembang sesuai ide permainan. Contohnya di sunda ialah lagu cing cang keling. Lagu itu sering digunakan dalam sebuah permainan anak kucing-kucingan dan sentuh berlarian. Permainan ini dilakukan dengan cara ketika ada salah satu anak yang tersentuh oleh anak yang terhitung, maka anak tersebut yang tersentuh kalah dan harus menyentuh temannya yang lain yang tak terhitung. Sebelum melakukan permainan ini, salah satu anak yang ikut bermain menyanyikan dulu lagu cing cang keling[2]. Namun apakah lagu cing cang keling tersebut sesuai dengan tema permainan ini? dan apakah pantas lagu ini jika ditempatkan pada permainan anak-anak seperti ini.
Rumusan masalah
            Melihat dari latar belakang masalah, akan banyak pertanyaan mengenai cing cang keling. Karena masih dipertanyakan tentang kelayakan dan kepantasan tentang lagu ini terhadap permainan anak-anak. Selain itu juga menarik dan masih dalam konteks permasalahan yang sama jika kita mengkaji tentang unsur tekstual dan kontekstual dari lagu cing cang keling. Satu lagi mungkin tentang unsur musikalnya karena akan membantu dalam pengkajian terhadap tekstualnya. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dirumuskan kedalam perumusan masalah seperti berikut:
1.     Bagaimana struktur musik cing cang keling ?
2.     Apa makna sebenarnya yang terkandung dari syair lagu cing cang keling?
3.     Tepatkah lagu caing cang keling jika dipakai dalam permainan anak-anak?
4.     Dimanakah tempat yang tepat bagi penempatan cing cang keling?
Struktur musik disertai makna syair cing cang keling
Cing cang keling seperti sudah dipaparkan adalah satu bentuk lagu anak-anak. Tentu struktur musiknya akan bersifat easy listening. Maksudnya ringan dan mudah diterima oleh khalayak. Biasanya struktur musiknya diawali dengan melodi kemudian masuk bait lagu A-B. Seperti itu terus struktur urutan musiknya yang di ulang-ulang. Seperti misal cing cang keling yang dibawakan oleh penyanyi cilik Cut Mandasari, Celika, Diana, Jeje, dan Cherry. Cing cang keling disini dibawakan dengan struktur urutan musik seperti yang sudah dipaparkan dan tema atau genre musiknya adalah ritmis disco 4/4[3]. Tentu jika hanya piur musik disco tidak akan cocok untuk usia anak-anak yang membawakan maupun yang mendengarkan ini. Oleh sebab itu disco disini dihasilkan oleh alat musik keyboard yang menggunakan fasilitas midi. Menurut peneliti seharusnya lagu yang seperti ini kurang layak jika menggunakan style musik seperti itu. Mengkin sebaiknya musik yang digunakan adalah alunan musik folk yang easy listening karena dengan menggunakan style musik berikut akan sangat pas dengan kehidupan anak. Apa lagi Cing cang keling sendiri adalah lagu yang sering digunakan dalam permainan anak-anak.
Mungkin jika untuk kepentingan dunia industri munggunakan style musik disco karena dinilai energic dan lebih semangat ini akan semakin menarik bagi anak-anak yang kehidupannya masih pada karakteristik ceria. Namun perlu dikaji kembali bagaimana eksistensi dari musik disco[4] tersebut yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan anak-anak. Disinilah tugas para komposer dan produser muda yang nantinya akan memproduksikan banyak karya, harus lebih teliti dan lebih bisa mengkonsep sebuah lagu terlebih dahulu sebelum memasarkannya. Seperti ujar Sigit astono seorang kepala jurusan Etnomusikologi pada waktu pentas mahasiswa dosen bahwa selain sebagai etnomusikolog, nantinya mahasiswa etnomusikologi akan dapat menjadi seorang produser yang hebat. Jadi siapkan dari sekarang konsep dan materi-materi yang matang dari sekarang (trankrip pidato Sigit Astono pada 12 Desember 2012).
Lagu cing cang keling ini secara struktur musik dalam konteks stylenya tidak pas jika diterapkan. Namun tidak hanya cing cang keling banyak lagu anak-anak lain yang juga menggunakan style yang sama dan ini sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia. Padahal pemilihan stlye disco tersebut kurang pas jika kita melihat eksistensi dari musik disco tersebut.
Makna syair Cing cang keling
            Untuk memudahkan dalam pengkajian syair dan teks dari cing cang keling yang berbahasa sunda, penulis mencoba untuk mentranskrip terlebih dahulu seperti gambar berikut:
Gambar 1. Notasi cing cang keling, transkrip oleh Nurseto Bayu Aji
Syair lagu Cing cang keling tersebut menurut Sanghyang Mughni Pancaniti diartikan sebagai berikut. “Cing cangkeling, cing-cing eling manusia semua. Manuk (Burung) bisa digunakan sebagai perlambang hati. apa sebabnya? sebab hati seperti manuk yang bisa terbang kemana saja semau dirinya. Silahkan kamu rasakan sendiri. Hati kita bisa terbang ke Jakarta umpamanya. Hati tak bisa dipenjara oleh apa pun, walau pun orang yang sedang dipenjara. Apakah hati orang yang dipenjara selalu ada di penjara? tidak.! sering hati mereka ada dirumah, rindu anak istri. Manuk cingkleung cineten, hati yang suka melirik-lirik ke sekitarnya itu harus tenang. Kalu hati sudah tenang, hati akan masuk ke kolong langit. Blos ka kolong, dan akan mendapatkan Bapa satar. Satar artinya dunia. satar berasal dari bahasa sunda kuno, artinya rendah. Silahkan tanya Kiai, dalam bahasa Arab dunia artinya rendah, adyan. Jadi, satar jeung dunia merupakan kata yang maksudnya sama. Kalau hati kita sudah tenang, maka kita akan mendapat dunia yang Bulendeung, yaitu penuh rahmat dan berkah Tuhan.”[5]
            Pengartian makna menurut pancaniti tersebut memang berarti sangat dalam. Ia melihat Cing cang keling sebagai lagu sunda yang memiliki pesan moral tinggi dan beraspek keagamaan. Bahkan ada satu konsep tentang hati yang muncul dalam Cing cang keling ini. Burung di analogikan sebagai hati, hal ini bisa di kuatkan bila kita melihat salah satu hadits dari Abu Hurairoh radiyallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Akan masuk surga suatu kaum, hati mereka seperti hati burung” (HR. Muslim) maknanya adalah dalam merealisasikan tawakal. Lantas bagaimana Hati burung tersebut dapat kita lihat pada hadits pula dari sahabat Umar bin khotob radiyallahu’anhu, bahwasannya beliau mendengar Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  Andaikan kalian tawakal kepada Allah dengan sebenarnya, niscaya Allah akan memberi rizki kepada kalian seperti memberi rizki kepada burung. Mereka pergi pagi hari dengan perut kosong dan pulang sore hari dengan perut kenyang” (shahih Tirmidzi, beliau berkata, ‘hadits hasan sohih).[6] Berarti Pancaniti ini memiliki latar belakang agama yang kuat sehingga ia sampai sedemikian mengartikan makna Cing cang keling. Sehingga dapt disimpulkan bahawa makna lagu cing cang keling menurut pancaniti adalah sebuah lagu yang memiliki pesan moral dan religius yang tinggi terutama dalam membahas perasaan atau hati.
            Jika menurut pancanita makna syair lagunya sedemikian rupa, maka cing cang keling merupakan lagu yang beresensi tinggi. Namun pada kenyataan lagu ini hanya digunakan dalam permainan anak-anak, tepatkah jika posisi begini? Mungkin bagi anak-anak kecil sendiri makna syair tidak terlalu dihairaukan karena bagi mereka yang terpenting adalah permainan petakumpet mereka tetap seru dan resep.
            Lain lagi pengartian makna Cing cang keling menurut seorang etnomusikolog musik sunda yaitu Denis setiaji. Di dalam ungkapan etnomusikolog yang paham bahasa sunda ini, ia memaparkan bahwa makna syair Cing cang keling sedikit berbau pornografi. Kleung ndengdek buah kopi raranggayan keun anu dewek ulah pati di heureuyan merupakan satu kesatuan bentuk paparikan yang berarti “ini miliku sendiri, jangan lah kamu ganggu”. Pengartian tersebut menurut ia dalam lagu Cing cang keling dapat di analogikan seperti layaknya kekasih atau pacar sendiri dan tidak bolaeh di rebut orang lain. Cing cang keling menurut ia adalah sebuah kata yang tidak bermakna namun sudah mendaerah. Manuk cingkleung menurut ia bukan nama sebuah burung dan ini mungkin hanya sebuah kiasan. Ketika menuju syair selanjutnya yakni cindeten menurut ia ini berarti burung dalam konteks kelamin laki-laki yang mengalami ereksi. Plos kakolong berarti masuk ke dalam kolong, burung ereksi yang masuk ke dalam kolong, kolong yang dimaksud adalah kolong kaki seorang wanita. Sedangkan di kolong kaki wanita sendiri terdapat kelamin wanita. Ini berarti burung ereksi yang masuk ke dalam kelamin wanita, maksudnya adalah hubungan intim. Bapak satar buleneng, buleneng yang dimaksud jidatnya lebar. Jidat adalah sebagian dari daerah kepala, jika kita tarik kesimpulan maka pastilah kepalanya besar pula. Kepala besar identik dengan metafora yang memiliki arti sombong. Orang yang sombong disini adalah laki-laki yang memiliki burung ereksi tadi yang dimasukan ke dalam kelamin wanita. Dengan pernyataan tersebut dapat ditarik pada satu garis bahwa orang yang melakukan hubungan intim ini adalah orang sombong, sangat dimungkinkan jika hubungan intim yang dimaksudkan adalah perzinahan. Jika kita melihat pengartian makna Cing cang keling menurut denis seperti demikian, akan muncul kembali pertanyaan “Pantaskah lagu Cing cang keling pada permainan anak-anak?”.
Penyikapan terhadap budaya warisan
            Cing cang keling merupakan lagu permainan anak-anak yang diciptakan oleh masyarakat atau orang-orang pendahulu dengan tanpa menghiraukan pemaknaannya. Mereka hanya asal menciptakan kata-kata yang penting mudah diucapkan dan mudah diingat oleh anak-anak. Begitulah kehidupan masyarakat primitif atau masyarakat pendahulu kita yang menciptakan sebuah syair lagu dengan banyak makna tersirat. Tidak mungkin kita akan menyalahkan mereka, karena mau disalahkan pun sudah tidak mungkin bisa ketemu. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah melestarikan tradisi kebudayaan yang mereka wariskan dengan cara menata dengan baik budaya-budaya tersebut. Cing cang keling jika menuruti arti dari Denis Setiaji sangat tidak patut digunakan pada permainan anak-anak. Namun kita kembali pada kenyataan sekarang dimana anak-anak pada setiap permainan petaak umpet yang menggunakan lagu Cing cang keling tidak terlalu menghiraukan makna syairnya. Jadi masalah pemaknaan tersebut tidak menjadi masalah yang besar yang perlu diperdebatkan.


[1]  Azis, Syamsir, 2001 : 4
[2]  www. wikipedia.com pada 19 Desember 2012 , 9:48
[3] Lihat www.youtube.com /watch?v=v_l4JQmYdUU
[4] Lihat ngarto februana dalam http://www.bengkelmusik.com/forum/showthread.php?t=7021
[5] Sanghyang Mughni Pancaniti dalam http://menjawabdenganhati.wordpress.com di unduh pada 19/12/12 pukul 23:55
[6] Dari artikel 'Seperti Hati Burung —  http://muslim.or.id/aqidah/seperti-hati-burung.html di unduh pada 15 Januari 2013 pukul 19:52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar