PROSES
TRANSFORMASI MUSIK FUSION TERHADAP BENTUK LADRANG DALAM IRINGAN PEWAYANGAN:
STUDI KASUS LADRANG DATANGLAH
Nurseto
Bayu Aji
11112102
Latar belakang
Fusion adalah salah satu sub-genre dari musik jazz. Jenis musik ini dianggap
paling berbeda diantara seluruh sub-musik jazz[1].
Asimilasi musiklah yang membedakan itu. Fusion merupakan percampuran antara
musik jazz dan musik rock. Namun musik jazz masih tetap mendominasi pada fusion
karena nuansa-nuansa akord dari ciri khas musik jazz serta improvisasinya masih
sangat kental. Dan kesan ritmik dari musik rock yang sedikit mendominasi. Maka
dari itu musik fusion memiliki keunikannya sendiri jika dilihat dari bentuk
musikalnya.
Sekitar tahun 30an musik fusion dan jazz
yang lain masuk ke Indonesia. Sudah diketahui bahwa indonesia merupakan negara
dengan kekayaan musik etnik yang melimpah. Oleh hal demikian musik fusion di
indonesia mulai berassimilasi dengan alat ataupun ensambel musik etnik
Indonesia. Perkembangan musik ini sangat pesat. Salah satunya adalah di pulau
Bali. Tengok Kulkul band. Band ini adalah salah satu kelompok musik yang
mengusung genre musik etnik fusion.
Formasi dari kukul band ini adalah: (1) Demas Narawangsa pada alat musik drum,
(2) Awan pada alat musik bass, (3) Didiet pada alat musik biola, (4) R.M Aditya
pada alat musik keyboard, (5) Faisar Fasya pada alat musik gitar, (6) Ketut
Budiyasa pada alat musik kendang, suling, ceng-ceng kopyak, kulkul, gangsa pemade,
(7) Wayan sudarsana pada alat musik gangsa kantilan, ceng-ceng kopyak, kulkul,
(8) Wayan sudiyarta pada alat musik ceng-ceng, ceng-ceng kopyak, gangsa
kantilan, kulkul, (9) Kadek setyawan pada alat musik gangsa pemade, ceng-ceng
kopyak, kulkul. Dilihat dari struktur alat musik kulkul tersebut, mereka dapat
menghasilkan karya-karya yang unik dengan ciri khas mereka sendiri. Salah satu
karya mereka yang paling unik ialah lagu “Datanglah”.
Datanglah dinilai karya paling populer
karena jika dilihat dari www.myspace.com/kulkulband, karya ini menduduki posisi
pertama dari seluruh karya kulkul yang lainnya. Dan karena kepopulerannya,
karya ini sampai dikenal dan berkembang dikalangan musik karawitan jawa. Hal
ini terlihat dari sebuah karya berjudul “Ladrang Datanglah”. Karya dari Dwi
Hatmanto Nugroho S.Sn ini berbentuk musik ladrang yang biasa digunakan dalam
iringan musik pewayangan pada adegan jejer.
Melodi utama pada ladrang datanglah yang dimainkan oleh biola atau bonang tidak
berbeda dengan dengan melodi utama pada karya datanglah yang dimainkan juga
oleh biola. Hal ini dikarenakan memang inspirasi pertama dari penciptaan karya
ladrang datanglah berkiblat pada karya datanglah.
Proses transformasi musik adalah yang
terjadi pada ladrang datanglah. Dikatakan transformasi musik karena terjadi
perubahan struktur musik etnik fusion terhadap bentuk ladrang pada karawitan
jawa dengan menambah, mengurangi pada pilihan alat musik serta bentuk
musikalnya. Perubahan bentuk musikal sudah sangat terlihat sekali dari musik
etnik fusion yang dimainkan dengan bentuk ensambel band dan gamelan bali
dipindah terhadap bentuk ensambel karawitan gamelan ageng jawa. Penambahan dan pengurangan juga terlihat dari ladrang
datanglah. Terjadi penambahan alat musik biola dan alat jenis brass pada
gamelan ageng. Pengurangan dangan tidak memakai alat musik gender, rebab,
suling, siter dan gambang. Hal tersebut dikarenakan ladrang datanglah hanya
menggunakan irama 1 pada ladrang (tempo cepat).
Transformasi pada ladrang datanglah
dipilih oleh peneliti karena dianggap sebagai hal yang unik. Konsep dasar dari
unik sendiri adalah tidak ada yang sama atau lain dari pada yang lain.
Tarnsformasi pada ladrang datanglah merupakan satu gebrakan yang baru bagi
dunia musik karawitan dan iringan pewayangan pada khususnya. Sehingga sangat
dimungkinkan hasil dari penelitian ini akan bermanfaat sebagai wacana tentang
musikal atau perkembangan musik nusantara. Bermanfaat sebagai wacana
perkembangan musik nusantara karena fenomena transformasi musik ini merupakan
salah satu contoh problematika musik di nusantara yang muncul akibat musik
barat yang berakulturasi dengan musik nusantara selanjutnya bertransformasi
terhadap musik etnik nusantara yang lain. Manfaat lain ialah sebagai wacana
musikal. Hal ini akan terlihat dari bagaimana proses transformasi musikalnya.
Tentu akan panjang dan lebar proses tersebut mengingat hal yang terjadi adalah
transformasi musik fusion terhadap musik bentuk ladrang. Sehingga dari proses
pentransformasian musik tersebut akan menjadi sebuah ilmu baru atau sekedar
apresiasi dalam pengaransemenan atau penciptaan sebuah karya pada dunia
akademik. Pemaparan tentang harapan peneliti tersebut merupakan sebuah
instrument dasar yang digunakan sebagai menentukan obyek formal serta material
dalam penelitian ini.
Hal
menarik lain ialah jika kita melihat dampak yang terjadi akibat hasil
transformasi tersebut. Dari sisi musikal mengalami metamorfosis bentuk lagu.
Dugaan sementara adalah jika dilihat dari sisi alat musiknya. Pada karya asli
menggunakan alat musik yang bersifat modern dalam arti elektrik sebagai
pengokoh struktural musikalnya. Setelah mengalami transformasi beralih terhadap
alat musik tradisional dalam arti akustik. Yakni menggunakan gamelan jawa yang
hanya tebal dalam melodinya namun kurang kokoh pada strukturalnya yang jarang
terdengar bunyinya. Namun mengingat kembali bahwa pada kedua karya asli maupun
hasil transformasi terdapat satu alat musik yang sama sebagai melodi utama
yaitu biola. Biola ini terdapat di tengah-tengah kumpulan gamelan jawa ini
semakin menguatkan bahwa juga terjadi proses akulturasi di dalam transformasi
musik datanglah. Sehingga peneliti memiliki dugaan bahwa dampak yang terjadi
setelah terjadi proses transformasi pada
karya datanglah ini ada dua yakni dampak positif dan negatif. Dampak positifnya
dari transformasi musik ini adalah semakin membuat musik karawitan jawa mwnjadi
lebih luas jangkauan penikmatnya. Maksudnya adalah dengan masuknya instrument
barat seperti biola ini menjadikan sensasi yang berbeda dan memiliki warna baru
bagi musik karawitan jawa. Namun secara musikal jawa dampak dari transformasi
musik ini sedikit menurunkan kualitas karawitan dalam bentuk ladrang khusunya.
Karena ladrang datanglah hanya menggunakan irama 1 (tempo cepat) dan tidak ada variasi
dalam konteks irama yang lain. Dan mungkin anggapan dari pelaku karawitan
tradisi, ini merupakan sesuatu yang di anggap merusak tradisi.
Dari data dan dugaan-dugaan di atas,
akan muncul banyak persoalan yang dapat dikaji oleh peneliti berdasar data
asal-usul ladrang datanglah serta manfaat penelitian tersebut. Diantaranya
adalah mengenai teks musikalnya, alasan pemilihan karya asal untuk di
transformasi, proses transformasi serta dampak secara kualitas musikalnya.
Komposer karya ladrang
datanglah
Ladrang datanglah adalah sebuah
karya yang terbesut dari seorang komposer muda bernama Dwi Hatmanto Nugroho
S.Sn. Selain profesinya sebagai komponis dalam musik tradisi-gamelan jawa, ia
juga merupakan seorang pelaku kesenian tradisi sebagai seorang dalang wayang
kulit dan kadang juga sebagai pemain kendangnya. Justru kendang wayang lah yang
pertama ia tekuni sejak masih duduk di bangku smp. Awalnya dulu ia adalah
seorang anak kecil yang gemar menonton pertunjukan wayang kulit klasik. Yang
sering ditonton adalah dalang Sujarno dari wonogiri. Di daerah asal hatmanto di
baturetno, wonogiri ini dulu sering sekali disajikan pertunjukan wayang kulit
dalam acara hajatan atau peringatan hari besar lain. Walaupun hatmanto ini
gemar menonton wayang kulit, namun ia lama kelamaan mengalami kejenuhan
terhadap musik iringan wayang ini. Karena dulu sewaktu kecil hatmanto, iringan
wayang masih menggunakan gending-gending klasik tradisi jawa khusunya
adalah dari mangkunegaran. Hanya ada satu gending
kreasi yang sering dibawakan, ini juga merupakan gending dolanan karya Narto Sabdo yang berjudul goyang semarang.
Berawal dari seorang pengendang
wayang di waktu smp, mulanya ia hanya menggantikan posisi kendang pada waktu manyura yakni pada waktu bagian akhir
pertunjukan wayang. Sejak smp memang hatmanto ini sudah sering mengikuti pentas
wayang kulit yang di ajak oleh pamannya yang juga merupakan seorang pengendang
wayang. Dampak dari ia kecil sudah ikut mengiringi wayang ini adalah sampai
sekarang gending-gending klasik yang
dulu seringa ia dengar masih termemori dengan baik di benaknya. Padahal sewaktu
kecilnya ia sering dimarahi oleh ibunya. Wajar menurut hatmanto jika seorang
ibu sering memarahi anaknya. Karena itu merupakan satu bentuk rasa sayang dan
kekhawatiran ibu terhadap anaknya. Tapi tetap saja hatmanto takut dan trauma
ketika teringat sedang dimarahi ibunya. Hubungan dari kedua hal tersebut adalah
ketika hatmanto kini mendengar gending-gending
klasik tradisi, ia akan teringat lagi tentang ibunya dulu yang sering
marah-marah. Dampaknya adalah ia sering menangis dan rindu akan ibunya
tersebut.
Mulai dari permasalahan tersebutlah
hatmanto mulai memutuskan untuk merubah kesan iringan wayang yang menggunakan gending tradisi klasik. Awal dari
usahanya ini selain terinspirasi dari kenangan terhadap ibunya, juga ia semakin
terdorong dengan adanya kontemporarisasi oleh para dalang yang di anggap
progresive seperti Manteb Sudarsono dan Sujiwo Tejo. Kedua dalang ini menurut
hatmanto merupakan seorang tokoh bagi dunia pewayangan yang berani melakukan
perubahan baik dalam cerita, tokoh pewayangan dan musik iringannya. Fokus
terhadap iringan musiknya, dari kedua dalang ini memasukan unsur alat musik
barat seperti biola dan terompet ke dalam karawitan jawa. Selain itu mereka
juga memainkan dinamika musikal melalui hentakan kendang dan keras lirihnya
tempo maupun volume musik.
Hatmanto sangat mengidolakan kedua
tokoh tersebut. selain itu ia juga merupakan penggemar musik orkestra yang
penuh diwarnai dengan dinamika permainan. Oleh sebab itu kini hatmanto banyak
berkarya yang berinfluence dari musik
orkestra namun bermedium gamelan jawa. Awal dari karyanya dulu hanyalah ia ikut
menambahi bagian karya musik dari dalang Entus sewaktu ia masih ikut di
dalamnya sekitar tahun 2000. Namun ketika tahun 2009 awal ia mulai merintis
karya tunggalnya yang diwadahi oleh kelompok Wayang Dugem. Wayang dugem ini
adalah kelompok yang dipimpin oleh dalang Mario dan yang di konsep pertamanya
adalah Yati Pesek. Yati Pesek disini hanyalah sebagai pengkonsep saja, apa lagi
Mario juga hanya yang mendanai. Seluruh karya iringan wayang dugem yang
menggunakan full combo band dan instrument balungan ini adalah hatmanto
sendiri. Mulai dari proses karya pada wayang dugem ini lah hatmanto mengaku
bertemu dengan anak-anak dari SMK Negeri 8 (SMKI) Surakarta yang menurutnya
berpotensi tinggi. Salah satunya adalah pemain biola yang bernama Prisha
Bashori. Prisha adalah pemain biola jebolan dari SMKI Solo. Dari Prisha inilah
hatmanto mulai kenal dengan musik-musik barat yang progresive seperti misal
musik dari kelompok Dream Theatre atau Kulkul dari indonesia sendiri.
Banyak lagu dari kulkul ini yang sering
dimainkan oleh prisha ketika latihan atau ketika ia masih menginap di rumah
hatmanto. Mulai dari hal inilah hatmanto terinspirasi untuk mencoba memasukan
unsur keunikan musik dari kulkul kedalam karya-karyanya. Seperti misal karya
dari kulkul yang berjudul Bali Dance. Karya tersebut mulai ia otak-atik dengan
menurunkan temponya dan dimainkan dengan ensambel campursari, maka jadilah
sebuah musik Opening campursari untuk kelompok musik Tri Tunggal dan CJDW. Hal
tersebut belum menjadi keunikan dari hatmanto. Yang lebih unik dan ekstream lagi ialah ketika ia mencoba
memasukan karya dari kulkul yang berjudul Datanglah kedalam musik iringan
wayang menggunakan medium gamelan jawa seperti tujuan utama hatmanto.
Pembahasan tentang datanglah gubahan dari hatmanto ini tentu akan panjang lebar
dan akan dipaparkan dalam sub-bahasan selanjutnya ini.
Proses transformasi datanglah
menjadi ladrang datanglah
Seperti yang sudah dikemukakan
didepan bahwa kiblat inspirasi pencipataan ladrang datanglah adalah dari karya
datanglah. Oleh hatmanto, pertama ia terinspirasi oleh datanglah karena ia dulu
sering mendengar karya ini yang dari alat pemutar musik atau mp3. Selain itu
juga dari Prisha yang sering melantunkan melodi dari datanglah ini di depan
hatmanto. Oleh karena itu hatmanto mulai terinspirasi untuk mengolah melodi
datanglah tersebut menjadi satu buah musik yang lain. Namun awalnya ia masih
mengalami keraguan dalam pembuatannya. Mau dibuat musik semacam apa datanglah
ini supaya berbeda dengan yang asli dan manjadi musik yang baru.
Tak lama untuk menjawab keraguan
hatmanto ini, ibarat turunlah sebuah wahyu anugerah. Wahyu tersebut turun lewat
seorang dalang muda yang bernama Danang. Danang merupakan salah satu anak dari
Dalang idola Hatmanto yakni Dalang Manteb Sudarsono. Danang akan mengadakan
pentas di kota Blora namun ia berkeinginan untuk memberikan sebuah sajian
wayang kulit yang megah, baru dan kekinian namun masih tetap dengan konsep
tradisinya. Disini Hatmanto sebagai komposer musik yang di sambati oleh Danang untuk menggarap iringan wayangnya. Karena hal
ini sesuai dengan misi Hatmanto untuk membuat nuansa baru dalam iringan
pewayangan. Maka hatmanto menerima titah dari
Danag ini untuk membuat iringan pewayangannya.
Hatmanto menggarap hampir seluruh
iringan wayang Danang mulai dari adegan pertama hingga waktu menjelang pagi
saat pementasan. Mulai dari proses ini pula hatmanto memiliki ide untuk
memasukan Datanglah kedalam salah satu musik iringan. Pada awalnya ia ragu
apakah bisa hal tersebut terwujud?. Pikirnya selalu bertanya-tanya seperti itu.
Namun karena ia melihat teman-teman yang sangat semangat pada waktu proses
latihan, ia yakin bahwa hal tersebut akan terwujud. Apalagi dengan ia setiap
hari mendengar lantunan melodi datanglah oleh prisha pada gesekan biolanya.
Terakhir ia memutuskan untuk mencari nada-nada seleh nya dahulu dari bentuk melodi biola ini. Proses ini merupakan
proses dasar dari penciptaan ladrang datanglah. Akhirnya ketemu bentuk dari seleh balungannya. Kemudian dari sekedar
balungan seleh ini hatmanto
mengembangkannya menjadi bentuk balungan mlaku.
Kemudian ia melakukan pengujian pertama dengan mengemixkan balungan mlaku tersebut dengan melodi datanglah
yang dimainkan bersamaan. Akhirnya terbentuk komposisi pertama ladrang
datanglah.
Secara bentuk ladrang, komposisi
datanglah sudah terbentuk. Namun hatmanto masih berfikir komposisi tersebut
masih kurang dan belum ada rasa yang kuat. Kemudian setelah ia berfikir ulang
terus menerus, ketemu tentang konsep kendang khas jogja yang akan digunakan
dalam komposisi itu. Tak tanggung pula, ia memasukan unsur vokal yang sesuai
balungan gending dari ladrang datanglah ini.
Jejel riyel
Rapet
pipit tumpang dhengkul
Lenggah iro tan selo
Tidhem
tannyabowo
Banyak
dhalang
Kacumas
dwipanggo
Sayekti
amuwuhi
Asri
renggeping kang panangkilan
Syair
vokal tersebut dibuat menyesuaikan fungsi dari komposisi ladrang datanglah pada
awal penciptaannya sebagai iringan pewayangan saat adegan jejer kedaton. Oleh sebab itu pemilihan kata-kata menyesuaikan
dengan situasi jejer kedaton. Situasi
saat itu adalah seorang raja yang duduk di singgasananya sedang melakukan paseban agung dengan menghadap para
punggawa kerajaan serta tamu kehormatan dari kerajaan lain. Suasananya
mencerminkan suasana yang skral dan agung. Oleh sebab itu hatmanto memasukan
unsur barat berupa alat musik tiup brass dan unsur dinamika musik barat berupa
hentakan-hentakan ritmis yang ditonjolkan seperti layaknya musik ensambel orchestra.
Setelah ia memasukan melodi brass dan
dinamika orchestra dalam komposisi ladrang datanglah, maka jadilah komposisi
ladrang datanglah seperti yang terdengar saat ini. Pertama kali dipentaskan
pada pentas wayang kulit oleh dalang Danang putra Manteb Sudarsono di kabupaten
Blora, Jawa Tengah pada acara pesta rakyat. Setelah pementasan waktu itu,
sebenarnya hatmanto belum puas dengan komposisi ladrang datanglah racikannya
ini. Hatmanto bermaksud untuk menggarap kembali ladrang datanglah ini, namun
karena hubungan kerjanya yang baik dengan banyak relasinya, komposisi ladrang
datanglah digunakan dalam banyak pentas seperti dalam bentuk campursari,
upacara pengantin jawa dan banyak lagi. Karena hal tersebut, komposisi ladrang
datanglah tidak jadi digubah kembali dan komposisi ini sudah terlanjur
dipatenkan.
Informan
Dwi
Hatmanto Nugroho S.Sn (35) dalang wayang kulit, pemain dan komposer musik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar