Pendahuluan
Wayang kulit merupakan salah satu
kesenian di nusantara yang menggunakan media boneka dari kulit binatang yang
disorot dengan lampu untuk menghasilkan bayangan yang indah. Dalam
pementasannya wayang kulit diiringi dengan musik yang sangat khas dari ensembel
gamelan ageng. Biasanya musik dalam pertunjukan wayang dibagi menjadi 3 tipe
berdasar modulasi nada slendro. Pembagian tersebut antara lain adalah Nem,
Nyongo, dan Manyura. Pertama kali dalam pertunnjukan wayang dimulai biasanya
diawali dengan gending atau repertoar yang berjuluk Talu yang menggunakan
modulasi nada slendro manyura. Selanjutnya langsung berpindah modulasi ke
slendro nem untuk iringan adegan jejer
atau paseban dalem sampai adegan
peperangan akhir. Kemudian beralih ke modulasi slendro songo pada adegan goro-goro sampai
cerita selanjutnya. Modulasi dari slendro nem ke slendro songo ini terjadi
secara fleksibel. Maksudnya adalah menyesuaikan dengan keadaan dan cerita dai
wayang kulit sendiri, tergantung bagaimana garap dari dalang sebagai pelaku
utama dalam pertunjukan.
Seni wayang kulit ini dapat
dikatakan sebagai seni pertunjukan apabila ada peran serta dari penonton.
Karena penonton adalah sebuah item yang sangat penting bagi suatu pertunjukan
dalam bangunan keutuhan sistemnya. Seperti kutipan dari situs STKUP YPUP yakni
“Seni Pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi dasarnya adalah
yang dipergelarkan langsung di hadapan penonton”.
Oleh karena itu penonton sangat penting dalam pertunjukan wayang kulit.
Penonton tidak hanya menjadi objek dari senio pertunjukan wayang kulit namun
penonton juga berperan sebagai pendongkrak popularitas pelaku pertunjukan
seperti halnya seorang dalang dapat terkenal karena banyak penggemarnya.
Penggemar atau yang lebih populer disebut sebagai fans. Kata fans
dihubungkan dengan kata fanatic yang
diambil dari bahasa latin fanaticus yang
berarti belonging to the temple.
Namun menurut adorno, fans atau penonton atau penggemar dapat dibagi menjadi
beberapa menurut tingkatannya.
Dalam tulisan ini akan menggunakan
beberapa konsep dari adorno karena menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian
yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan adalah mengenai bagaimana
pengklasifikasian penonton dalam pertunjukan wayang. Penyempitan penelitian
dilakukan terhadap satu objek seni yakni kelompok wayang oleh Ki Entus Susmono.
Entus dan kelompok musiknya yang bernama Satria Laras ini dalam setiap
pertunjukannya pasti dapat mendatangkan banyak penonton karena memang merupakan
sudah kelompok seni yang kawakan dan sudah memiliki ciri khas musik sendiri
seperti yang akan dipaparkan dalam isi dari makalah ini.
Dalam penelitian tentang klasifikasi
penonton wayang kulit ini melihat pengklasifikasiannya berdasar tingkatan peran
penonton dalam pertunjukan, faktor sajian pertunjukan dan faktor kebutuhan
penonton. Namun untuk lebih memberikan sekat dalam pengklasifikasian, akan juga
digunakan durasi waktu dalam pementasan karena akan terlihat jelas volume
penonton yang ada. Untuk lebih menjelaskan tentang pengklasifikasian penonton
wayang kulit ini, akan digunakan beberapa konsep dari T.Adorno tentang
klasifikasi penonton yakni The good
listener, The culture consumer, The jazz fan dan Unmusical. The good listener dipakai
untuk melihat bagaimana penonton yang baik yang menikmati pertunjukan bukan
hanya untuk prestise tetapi karena memang suka. Penonton yang baik ini biasanya
melihat pertunjukan secara menyeluruh atau detail terhadap pertunjukan wayang
kulit, tetapi belum tentu mereka paham betul tentang teknik atau struktur
tertentu tentang pertunjukan wayang.
The
culture consumer adalah penonton yang lebih fokus terhadap kemasan
pertunjukan. Dapat dilihat dari segi garap
musik maupun kemasan pembawaan seorang dalang. Hal ini dimungkinkan karena
dalam pertunjukan wayang kulit seorang dalang adalah penentu susasana dalam
mensituasikan pertunjukan. Selanjutnya adalah the jazz fan adalah penonton yang hanya menjadi penggembira.
Maksudnya adalah penonoton yang hanya melihat pertunjukan sebagai hiburan.
Hiburan karena disebabkan penonton ada kontak emosional atau kekerabatan dengan
si pengundang pertunjukan wayang. Kemungkinan kedua penonton juga ada hubungan
kekerabatan atau hanya sekedar kenal atau hanya mengidolakan dalang secara
perorangan atau secara kemasan beserta musiknya. Unmusical sedikit mirip dengan the
jazz fan, karena dalam konsep ini melihat penonton yang sama sekali tidak
melihat pertunjukan dan tidak menikmati hasil suara dari pertunjukan wayang
kulit. Penonton jenis ini hanya sekedar datang dalam lingkungan pertunjukan
karena faktor lain yang non kesenian di area pertunjukan.
Secara garis besar dalam penelitian
ini, pengklasifikasian penonton pertunjukan wayang kulit akan diklasifikasikan
berdasar konsep adorno tersebut. Sebagai
pijakan dasar memang memakai konsep adorno tersebut, namun dalam prakteknya
pengklasifikasian penonoton akan lebih dipilah berdasar durasi waktu
pertunjukan, tingkat pendidikan masyarakat sekitar dan faktor ekonomi
masyarakat dari wilayah diadakannya pertunjukan.
Pertunjukan wayang kulit Ki Entus
Susmono
Ki
Entus Susmono merupakan dalang wayang kulit yang sudah ternama di Indonesia
atau bahkan di kancah internasional. Dalang yang berasal dari Kabupaten Tegal
ini dalam setiap penampilannya memang lain dibandingkan dengan dalang wayang
lain. Ciri khas dari Ki Entus yang paling menonjol adalah dari cara ia merakit
setiap adegan dalam cerita wayangnya yang dibuat seolah seperti drama pada
kehidupan manusia sehingga dapat mempengaruhi para penonton untuk terpaku dalam
alur cerita yang dibawakan. Ciri lain adalah dari tutur katanya yang sedikit
humoris bahkan kadang memunculkan unsur kata-kata jorok atau saru untuk membuat tertawa para
penonton. Ki Entus menjadi dalang yang paling ditakuti untuk di tanggap oleh kalangan Politik atau
pemerintah yang memiliki cacat dalam tugas jabatannya, karena kadang ia
blak-blakan dalam membongkar aib para pejabat dengan dibumbui sedikit lelucon
yang kadang membuat pejabat yang kena tersebut menjadi malu atau kehilangan
muka di khalayak. Pengamatan ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa Ki Entus
beberapa tahun yang lalu masuk bui karena tuduhan pencemaran nama baik yang
dilaporkan oleh salah seorang pejabat dari salah satu parpol besar di
Indonesia. Karena hal-hal demikian tadi tak heran bahwa Ki Entus merupakan
dalang yang fenomenal dengan sejuta tingkah lakunya yang kadang tidak terduga.
Dalam pertunjukan wayangnya pun juga demikian. Kadang muncul hal-hal yang tidak
terduga yang tidak sewajarnya dalam pertunjukan wayang kulit, seperti halnya
unsur-unsur musik atau garap musikal dari ensembel yang mengiringi.
Musik yang mengiringi dalam
pementasan wayang kulit Ki Entus Susmono adalah kelompok musik karawitan Satria
Laras. Satria Laras pada dasarnya sama seperti kelompok karawitan yang lain.
Yang paling membedakan dari kelompok musik ini adalah dari segi susunan alat
musik, penataan tempat dan garap musikalnya. Satu persatu akan dibahas dalam
selanjutnya ini:
a. Susunan
alat musik
Susunan
alat musik dari Satria Laras adalah terdiri dari perangkat gamelan ageng pelog
dan slendro yakni set kendang jawa, 2 demung, 2 saron, peking, bonang barung,
bonang penerus, bonang penembung pelog, gender, slenthem, gong, kempul, ketuk
kempyang, kenong, rebab, siter dan gambang. Instrumen yang membedakan daripada
kelompok karawitan lain adalah adanya alat musik set kendang sunda, jimbe,
bedug tibet, cymbal, chinese gong, brass section dan string section (biola).
b. Penataan
Tempat
Penataan
tempat pada Satria Laras dan pertunjukan wayang Ki Entus Susmono ini memang
lain dari pada yang lain. Kalau biasanya letak gender berada di belakang dalang
tepat dan di ikuti oleh kendang dibelakangnya dan instrumen balungan di paling
belakang. Namun pada penataan Satria Laras letak kedua set kendang yakni jawa
dan sunda justru di belakang dalang dan dibelakangnya tepat berada Instrumen
balungan. Hal ini dilakukan karena pemegang kendang merupakan penata iringan
yang mengatur jalannya iringan musik di bawah pengaturan dari dalang. Sehingga
penting peletakan ini dilakukan untuk memudahkan pengendang sebagai penata
iringan untuk mengkordinir pemusik atau pengrawit yang lain.
c. Garap
Musikal
Sebetulnya
dalam garap musikal Satria Laras sangat banyak ciri khusunya yang membedakan
dengan kelompok musik lain. Namun karena dalam makalah ini hanya akan membahas
tentang pengklasifikasian penonton sehingga dalam garap musikal hanya dapat
digaris bawahi bahwa Satria Laras dalam garap musikalnya mengutamakan ketepatan
pukulan dan menonjol dalam Instrumen balungan yang memunculkan suasana rancak
yang dapat memkau dan membuat terpana para penonton.
Penonton dalam pertunjukan wayang
kulit Ki Entus Susmono
Dalam
setiap pementasan wayang Ki Entus, jarang sekali terdapat sedikit penonton yang
menyaksikan karena faktor kepopuleran dari Ki Entus ini sendiri dan atmosphere
yang dihasilakan dalam pertunjukannya. Bahkan tidak jarang pula dalam setiap
pertunjukannya yang dilaksanakan di tanah lapang, penonton sampai penuh dan memadati
area pertunjukan bahkan membuat jalanan di sekitar area tanah lapang menjadi
macet oleh kendaraan-kendaraan yang parkir. Dalam maupun luar area pertunjukan
biasanya juga dipadati oleh para pedagang tang terdiri dari pedagang makanan
dan usaha dagang lain seperti souvenir atau juga pada daerah tertentu kadang
ada pedagang menjajakan perjudian seperti judi roda berputar dan judi catur,
sehingga penonton dalam pertunjukan wayang kulit dapat terlihat padat dan
hampur tidak ada cela. Jumlah penonton yang banyak dengan aktivitas
masing-masing tersebut dapat diklasifikasikan menjadi seperti demikian:
a.
The good listener
Seperti
yang telah dipaparkan didepan bahwa The
good listener merupakan penonton yang baik yang menikmati pertunjukan bukan
hanya untuk prestise tetapi karena memang suka. Penonton ini biasanya melihat
pertunjukan secara menyeluruh atau detail terhadap pertunjukan wayang kulit,
tetapi belum tentu mereka paham betul tentang teknik atau struktur tertentu
tentang pertunjukan wayang. Dikatakan sebagai The good listener dalam pertunjukan wayang kulit Ki Entus adalah
para penonton yang datang karena ingin melihat bagaimana sajian dari
pertunjukan itu, yang mereka adalah penonton yang ingin tahu betul bagaimana
pertunjukan Ki Entus berlangsung dengan bekal pengetahuan tentang wayang kulit
yang lumayan detail dan penuh. Contoh konkrit dari penonton ini adalah para
kaum muda yang sedang belajar tentang seni pewayangan, baik yang otodidak atau
yang lewat dunia akademis seperti mahasiswa.
Kaum
akademisi yang menjadi penonton dalam pertunjukan wayang kulit Ki Entus pasti
pertama kali yang dirasakan adalah merasa aneh dan asing. Hal tersebut karena
gaya dari pewayangan Ki Entus memiliki cirinya sendiri yang berbeda jauh dari
gaya pedalangan yang diajarkan di dunia akademisi. Bahkan tidak sedikit
pengajar pedalangan khusunya bidang wayang kulit yang mengekang tentang gaya
pewayangan dari Ki Entus ini karena berbeda dengan pedoman atau tradisi
pewayangan yang mereka anut. Sehingga dampaknya dalam setiap pementasan Ki
Entus, jarang sekali ditonton oleh para pengajar tentang pedalangan seperti
dosen atau pengajar lain.
Posisi
dari penonton ini adalah biasanya berada di deretan depan dari pada seluruh
penonton yang ada. Namun bukan depan sendiri, posisi depan tapi bukan paling
depan. Posisi ini sangat cocok karena dari sisi itu mereka mendapatkan titik
focus atau titik pandang yang tepat dalam menyaksikan pertunjukan wayang.
Selain itu pada posisi itu juga stereo ponik dari pengeras suara sangat
maksimal untuk mendapatkan kejelasan suara dari panggung pementasan. Ciri
khusus dari penonton jenis ini adalah biasanya mereka duduk dengan tenang,
memperhatikan dengan fokus terhadap sajian pertunjukan, posisi tangan sebagian
besar mereka dilipat di depan dada dan mereka lumayan menikmati pertunjukan.
Setiap kali ada kejutan atau hal yang menarik dari pertunjukan seperti misal
ada tekhnik sabetan wayang yang unik atau musik yang aneh, pasti mereka segera
mengakan badan dan mencari-cari apa yang terjadi, seakan ingin lebih tahu.
Durasi waktu dari penonton jenis ini adalah mereka bertahan menonton ada yang
sampai selesai pertunjukan atau juga ada yang pada saat adegan goro-goro sudah pulang karena inti
cerita dinilai sudah selesai dan terpapar.
b.
The culture consumer
Thr culture consumer adalah
penonton yang lebih fokus terhadap kemasan pertunjukan. Dapat dilihat dari segi
garap musik maupun kemasan pembawaan
seorang dalang. Hal ini dimungkinkan karena dalam pertunjukan wayang kulit
seorang dalang adalah penentu susasana dalam mensituasikan pertunjukan.
Terutama pada pertunjukan wayang Ki Entus yang memiliki ciri khusus dalam
sajiannya dan garap musik yang beda dari yang lain.
Posisi
dari penonton ini biasanya adalah berada di tengah kerumunan penonton atau juga
bisa berada di samping sekitaran panggung pementasan. Mereka biasanya lebih
suka berdiri dan berdirinya mereka tersebut dapat bertahan berjam-jam hingga
pertunjukan berakhir. Tapi kebanyakan jenis penonton ini, mereka durasi
menontonnya ada dua yakni sampai pada adegan limbukan atau peperangan dan yang kedua mereka sampai akhir adegan goro-goro. Jenis penonton ini yang
berdurasi sampai akhir goro-goro memang
sulit untuk dibedakan dengan jenis the
good listener, namun yang dapat membedakan adalah dalam hal memperhatikan
pertunjukannya. Misal ketika seperti ada kejutan atau kejadian aneh dalam
pementasan, jenis penonton ini paling hanya tersenyum atau tertawa saja. Tidak
seperti the good listener yang
antusiasnya lebih.
c.
The jazz fan
The jazz fan adalah
penonton yang hanya menjadi penggembira. Maksudnya adalah penonoton yang hanya
melihat pertunjukan sebagai hiburan. Hiburan karena disebabkan penonton ada
kontak emosional atau kekerabatan dengan si pengundang pertunjukan wayang.
Kemungkinan kedua penonton juga ada hubungan kekerabatan atau hanya sekedar
kenal atau hanya mengidolakan dalang secara perorangan atau secara kemasan
beserta musiknya. Penonton jenis ini dalam pertunjukan Ki Entus sangat banyak
terlihat, misal ada pejabat setempat yang datang, mereka padahal belum tentu
suka dengan pertunjukan wayang, namun tetap datang karena faktor ingin menjaga
nama baik dan untuk menjaga hubungan baik dengan masyarakatnya.
Posisi
dari penonton jenis ini tidak tentu, mereka tidak dapat diprediksi lewat
posisi, mereka dapat diketahui hanya dari tingkah laku dan durasi bertahannya.
Tingkah laku dari penonton jenis ini adalah ngobrol sendiri dengan temannya,
bermain ponsel genggam, sering menguap, tapi tetap pada area view pertunjukan.
Durasi untuk penonton jenis ini adalah mereka semau mereka, ada yang baru
pertunjukan berlangsung 1 sampai 2 jam sudah pulang atau maksimal mereka hanya
sampai akhir adegan limbukan langsung
pulang.
d.
Unmusikal
Penonton
jenis ini hanya sekedar datang dalam lingkungan pertunjukan karena faktor lain
yang non kesenian di area pertunjukan. Faktor lain tersebut antara lain adalah
seperti faktor butuh hiburan karena suntuk dirumah, ingin bersosialisasi dengan
teman-teman atau orang banyak, fafktor adanya pedagang yang beranekaragam dan
banyak pilihan, faktor karena adanya perjudian, dll. Penonton unmusical tidak begitu mementingkan
bagaimana pertunjukan wayang, posisi mereka adalah jauh dari area view
pertunjukan. Walaupun mereka dapat dikatakan hanya sebagai pendengar karena
kerasnya suara pertunjukan yang dihasilkan dari pengeras suara, namun mereka
tidak mempedulikan hal tersebut. Mereka lebih mementingkan kesibukannya sendiri
di area sekitar tempat pementasan. Yang termasuk dalam penonton jenis ini bukan
hanya orang yang sengaja datang berkunjung dari rumah, namun pedagang yang
sedang berniaga atau melakukan jual beli dan orang yang lewat juga termasuk.
Semua orang yang berada di sekitar area pementasan wayang yang tidak begitu
mempedullikan suara atau view pertunjukan termasuk ke dalam jenis penonton ini.
Penutup dan kesimpulan
The jazz fan (dapat dimana saja)
|
|
Dari
pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam pertunjukan wayang, penonton
dapat dipilahkan atau diklasifikasikan menurut karakter dan kebutuhan mereka.
Untuk lebih jelas akan dibuat bagan seperti dibawah ini:
|
|
The jazz fan (dapat dimana saja)
|
|
Keberadaan
penonton dalam pertunjukan wayang kulit sangat penting perannya. Apapun jenis
dari penonton tersebut kita wajib hargai karena merekalah yang menjadi konsumen
budaya nusantara yang ikut serta melestarikan juga.
DAFTAR
PUSTAKA
http://duniakampusmakassar.blogspot.com/2009/03/seni-pertunjukan-adalah-segala-ungkapan.html
diunduh
INFORMAN
Dwi
Hatmanto Nugroho S.Sn (36) sarjana pedalangan dan pengrawit dari kelompok musik
Satria Laras